Langit pagi belum sepenuhnya terang saat mereka meninggalkan gerbang utama Kekaisaran Swastamita. Rombongan kecil itu hanya terdiri dari tiga sosok: seorang gadis dari dunia asing yang belum memahami takdirnya, dan dua pria dari dunia ini yang berseberangan dalam prinsip, namun kini menyatu dalam satu misi.
Reina menatap ke depan, menggenggam tali kendali kudanya erat. Ia sempat mengira akan kembali muntah seperti saat pertama kali menunggangi kuda beberapa waktu lalu. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Tubuhnya bergerak seirama dengan langkah kuda, tanpa rasa pusing, tanpa perlu berhenti untuk menarik napas dalam-dalam.
Mungkin setelah tiga hari pelatihan brutal oleh dua makhluk paling menyebalkan dan keras kepala yang pernah ia temui, dunia ini dan segalanya di atasnya, tak lagi terasa menakutkan.
Mereka melaju menuruni jalan-jalan utama ibukota Kekaisaran, melewati kawasan pasar yang ramai dan jalan-jalan batu yang dipenuhi makhluk-makhluk dari berbagai jenis. Mata Reina menatap kagum pada keragaman kehidupan yang berjalan berdampingan. Manusia berdagang bersama sosok-sosok tinggi berkulit batu, anak-anak bermain di pelataran bersama hewan berbulu biru yang memiliki tanduk bercahaya. Segalanya terasa seperti dongeng namun nyata.
“Selamat datang di Swastamita, dunia kami yang luar biasa,” ujar Radeeva dari sampingnya, senyum bangga mengembang di wajahnya yang mulus seperti pualam.
Reina hanya mengangguk pelan. Dunia ini memang menakjubkan. Tapi juga... terlalu banyak mata yang memandang. Setiap langkah kuda mereka disambut tatapan penuh selidik, heran, beberapa bahkan waspada. Terutama kepada dirinya. Gadis asing, tak dikenal, namun kini berada di antara dua Ksatria terkenal. Dalam balutan pakaian khas Menara Cahaya, jubah putih keperakan yang menyesuaikan bentuk tubuh dan berpendar samar di bawah sinar pagi, Reina tampak berbeda. Terlalu mencolok untuk tidak diperhatikan.
Ia mencoba untuk tidak gugup, tapi sorotan mata itu memanggil kembali kenangan-kenangan yang telah lama ia kubur. Wajah-wajah dari masa lalu yang menatapnya dengan kecurigaan, ketakutan atau jijik.
Panti asuhan. Koridor sempit. Ruang makan yang dingin. Suara anak-anak tertawa sinis. Wajah Bunda yang lelah... namun selalu lembut ketika menatapnya.
Bunda....
Nama itu menggema di pikirannya seperti mantra. Rasa rindu mengalir deras, menyelinap di antara tumpukan emosi yang belum sempat ia benahi. Ia menatap langit, dua bulan masih menggantung, satu besar dan jingga, satu lebih kecil namun bersinar keperakan. Seperti dua mata yang mengawasinya dari jauh.
Apa kabarmu sekarang, Bunda?
Apa kau tahu aku menghilang?
Apa kau tahu aku berada di tempat ini—dunia yang tak pernah kita bicarakan?
Apakah aku telah membuatmu khawatir...?
Reina menunduk, air mata menggantung di ujung matanya, tapi tidak jatuh. Ia tak ingin kedua pria di sampingnya melihatnya rapuh. Tidak sekarang. Tidak ketika perjalanan mereka baru dimulai.
Ibu kota Swastamita telah jauh tertinggal di balik pegunungan berkabut. Tiga sosok berkuda itu kini memasuki wilayah yang lebih sunyi, lebih lembab, dan lebih liar. Rimbunan pohon-pohon tinggi mulai menelan cahaya langit, menyaring sinar matahari menjadi semburat hijau kebiruan di antara ranting dan lumut. Aroma tanah basah memenuhi udara.
Mereka berhenti di bawah pohon besar berakar menjalar seperti lengan-lengan tua yang mengangkat bumi. Di sanalah Radeeva membentangkan peta tua yang digulung dari Menara Cahaya. Peta yang terbuat dari kulit aneh, mungkin bukan berasal dari makhluk dunia ini.
“Kita akan menuju Kawah Tanding,” ucapnya sembari menunjuk satu titik di wilayah tenggara Swantara. “Wilayah ini dijaga kabut dan medan tak bersahabat. Perjalanan normal akan memakan waktu dua minggu, mungkin lebih jika kita menghadapi cuaca buruk atau pergerakan makhluk liar.”
Reina menatap peta itu dengan seksama. Ada semacam semangat baru dalam sorot matanya. Tekad yang perlahan terbentuk setelah serangkaian luka, pelatihan, dan kenyataan yang tak bisa ia hindari lagi.
“Baik,” ujarnya pelan namun mantap.
Sementara itu, Bhirendra hanya duduk bersandar di batang pohon, matanya terpejam. Tubuhnya nyaris tak bergerak, namun dari nafasnya yang perlahan dan dalam, Reina tahu ia belum sepenuhnya pulih. Luka sihir dari cambuk Dewan Pengamat masih mengendap di bawah kulit. Luka yang tak tampak namun menyiksa. Namun tidak ada yang bertanya, tidak ada yang menyuarakan simpati. Baik Reina maupun Radeeva tahu, mengganggu Bhirendra dalam keadaan seperti itu hanya akan membuatnya semakin diam.
Hari-hari berikutnya berlalu dalam pola yang sama. Perjalanan panjang, suasana hening yang dipecah oleh candaan ringan dari Radeeva, serta obrolan singkat tentang rute, sihir pertahanan, dan kehidupan Swastamita. Kadang Reina tertawa kecil, terbawa oleh kejenakaan halus sang pangeran. Radeeva memang lebih terbuka, ekspresif, dan jika tidak dalam keadaan serius, nyaris bisa dibilang menyenangkan.
Bhirendra tetap menjadi sosok sunyi. Ia hanya berbicara saat benar-benar perlu. Selebihnya, ia adalah bayangan yang selalu ada namun tak menyentuh, seperti malam yang selalu mengikuti siang.
Akan tetapi malam itu, sesuatu berubah.
Mereka tengah beristirahat di antara celah dua batu besar, sinar dua bulan menggantung rendah di langit, menyinari kabut yang perlahan merayap dari celah semak. Cahaya itu menciptakan siluet aneh di permukaan tanah, indah, namun terasa terlalu tenang.
Terlalu sepi. Tak ada suara jangkrik. Tak ada desir ranting. Hanya angin yang menggigit pelan, dan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba menguat.
Reina mulai gelisah. Ia duduk dekat api kecil yang meredup, pandangannya mencari Radeeva, yang hanya mengangguk pelan, tanda bahwa ia pun merasakannya. Namun sebelum Reina sempat bertanya lebih jauh, suara datar memecah kesunyian.
“Bersiaplah. Sesuatu datang,” gumam Bhirendra, masih dalam posisi duduk. Namun telinganya tampak menajam, dan tangannya telah menyentuh gagang pedangnya.
Beberapa detik kemudian, terdengar desis. Dari balik kabut, sesosok makhluk besar menjulur keluar. Reptil raksasa dengan sisik kelabu kehijauan, lidahnya panjang dan berlendir, menjilat udara dengan suara menjijikkan. Mata merahnya menyala di kegelapan, dan dari mulutnya menyembur cairan pekat berwarna hijau tua, membakar rumput yang disentuhnya.
“Wangara...” desis Radeeva dengan ekspresi menegang. “Siluman kabut. Si peragu yang memakan energi keberanian.”
Sebelum Reina sempat bergerak, Bhirendra sudah melompat. Gerakannya cepat, secepat kilat yang membelah malam. Ia menarik Reina dalam pelukannya. Lengan kirinya melingkari pinggang gadis itu dan membawa mereka berguling menjauh dari semburan asam Wangara.
“Jangan berdiri di tempat! Makhluk ini memburu keraguan!” teriak Radeeva sembari melemparkan sihir pelindung ke arah api unggun yang nyaris padam.
Reina terguncang, bukan karena diserang, tapi karena merasakan detak jantung Bhirendra yang menghantam punggungnya. Erat. Hangat. Tapi tak menyenangkan karena itu adalah pelukan dari seseorang yang tak tahu caranya menyentuh dengan lembut.
Wangara menggeram, matanya yang merah menyala makin liar. Kabut tebal mulai menggulung tanah, menjalari semak dan pepohonan seperti tangan-tangan kematian yang siap menjerat. Namun, tiga sosok manusia itu tidak bergeming.
Bhirendra bergerak lebih dulu. Ia menjentikkan jari. Seberkas cahaya biru berpendar dari dadanya, lalu membungkus tubuh Reina dalam medan pelindung ganda yang memantulkan energi negatif.
“Satu untuk tubuhmu. Satu lagi untuk jiwamu,” bisiknya sebelum melompat menjauh, menebas udara dengan pedang Prabawa Samayoga yang kini berpendar terang seperti matahari pagi.
Darah siluman Wangara bukan darah biasa. Cairannya menguap dan memuai menjadi racun saat menyentuh udara. Tapi tebasan Bhirendra terlalu cepat, terlalu tajam. Sisik makhluk itu terkelupas satu per satu.
Reina menggertakkan giginya. Ini bukan waktunya untuk diam. Ia merapal mantra, tidak lagi dengan ragu seperti sebelumnya, melainkan dengan keyakinan yang terbentuk dari luka-luka masa lalu dan keberanian yang perlahan tumbuh.
“Sarata Laksita, Asti Bhuwana!”
Sebuah gelombang cahaya mengalir dari ujung jarinya, membentuk pusaran udara panas yang menerjang sisi tubuh Wangara, memecah kabut sekitarnya. Siluman itu terhuyung. Tertusuk oleh energi asing yang bukan hanya sihir, melainkan kemauan bertahan hidup dari seorang manusia.
“Bagus,” seru Radeeva sambil melompat ke atas batu, tangannya menari di udara.
Ritme mantra Radeeva lebih cepat, lebih indah, namun mematikan. Sihirnya berbentuk helai-helai cahaya keemasan yang menyelimuti kepala Wangara, menutup matanya dan membungkam raungannya.
Mereka bertiga, yang baru saja saling bertengkar beberapa hari lalu, kini bergerak seperti satu kesatuan. Sebuah tim. Tiga aliran kekuatan yang berbeda: keteguhan Bhirendra, keluwesan Reina, dan kecemerlangan Radeeva, saling bersilang dan berpadu dalam simfoni pertempuran dan ketika Wangara melompat dalam upaya terakhirnya, Bhirendra berada di hadapan Reina dalam satu kedipan mata.
“Sekarang, Reina!”
Tanpa berpikir panjang, Reina menyatukan kedua telapak tangan, merapal mantra terakhir.
“Wastu Mandala, Pangripta Jagat—RAUNTARA!”
Kilatan energi putih membuncah dari dalam cincin Cakra Adhiwara di jarinya, menembus tubuh Wangara yang terbakar dari dalam. Tubuh besar itu menggelepar, lalu perlahan runtuh menjadi abu yang menyatu kembali dengan kabut malam.
Hening.
Hanya suara napas mereka yang tersisa. Namun bukan napas panik, melainkan helaan tenang, seperti mereka baru saja melewati ujian besar dan untuk pertama kalinya, bersama.
Radeeva turun dari batu, menyeka keringat dari pelipisnya, lalu bersiul pelan. “Tak buruk untuk penyihir dadakan.”
Reina hanya tersenyum kecil. Di antara detak jantungnya yang masih berdegup kencang, ada sesuatu yang terasa aneh. Bukan rasa takut. Bukan pula trauma. Tapi semacam kelegaan.
Bhirendra berdiri membelakangi mereka, menatap tempat Wangara runtuh dengan wajah tak terbaca. Namun Reina bisa menangkap sesuatu dari gerak bahunya, sedikit lebih santai, sedikit lebih... lega?
Tanpa berkata apa pun, pria itu mengayunkan pedangnya sekali, membersihkan darah siluman yang menguap seperti kabut, lalu menyarungkannya kembali.
Perjalanan baru saja dimulai dan malam itu, untuk pertama kalinya, Reina benar-benar merasa... tidak sendirian.