Lembayung Niralasa menjadi persinggahan mereka malam itu. Sebuah penginapan yang lebih menyerupai rumah tua yang terbuat dari akar-akar raksasa dan dedaunan lebar yang membentuk lengkungan pintu, seolah tumbuh dari tanah dan langsung merunduk menyambut tamu.
Begitu masuk, aroma anggrek hutan, kayu manis, dan cendana menyeruak dari setiap sisi, bercampur dengan hawa hangat yang membuat tubuh rileks, namun tidak untuk Reina. Ia bersin tiga kali berturut-turut, lalu mengibas-ngibaskan tangan di depan hidungnya.
“Siapa yang menaruh dupa di dalam gua jamur?” gerutunya pelan, setengah geli.
Radeeva tertawa. “Itu bukan dupa, itu sihir aroma. Desa ini menjaga emosinya lewat wewangian. Semacam terapi.”
Reina mengangguk tak yakin. Matanya menelusuri interior bangunan, lalu menoleh sejenak ke belakang dan hatinya mengencang. Bhirendra baru saja melangkah masuk ke aula utama, tubuhnya tinggi tegap seperti biasa, namun berbeda malam ini: ada seseorang di pelukannya. Chandani, gadis muda yang wajahnya belum ia kenal. Masih terlelap, tampak rapuh dalam dekapan kuat itu.
Reina menelan ludah. Ingin bertanya, namun lidahnya membatu. Keinginan itu terkikis dalam satu kedipan. Ia menoleh ke arah Radeeva yang masih berdiri di sisinya.
“Berapa kamar yang kita butuhkan?” tanyanya, berusaha terdengar datar, walau nadanya lebih dingin dari biasanya.
Radeeva melirik sekilas, lalu tersenyum, senyum licik yang tak disembunyikan. “Tiga,” jawabnya santai. “Satu untuk Bhirendra, satu untuk Chandani, dan satu lagi untuk... kita berdua.”
Reina mengerjap, lalu mengangkat alis. “Apa katamu?”
“Kenapa? Takut jatuh hati dalam satu malam?” goda Radeeva sambil mencondongkan tubuh ke arahnya, membuat Reina mundur satu langkah sambil mengayunkan jari nyaris menyentuh dahinya.
Namun sebelum Reina bisa menjawab, sebuah suara berat dan dingin memotong keheningan:
“Empat.”
Satu kantong koin perak mendarat di atas meja resepsionis dengan bunyi khas, berat, pasti, dan penuh tekanan.
Mata Reina dan Radeeva serentak menoleh. Bhirendra berdiri tegap, tatapannya menusuk tajam ke arah Radeeva. Wajahnya tak menampakkan amarah terang-terangan, namun muak yang disembunyikan dengan susah payah.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengambil kunci kamar yang diberikan oleh pelayan, kemudian melangkah pergi mengikuti arah tangga ke lantai atas, Chandani masih terlelap dalam gendongannya. Langkahnya berat, namun tetap tenang. Seperti air yang menampung badai di dalam diam.
Reina mengikuti dengan tatapan matanya sampai sosok itu lenyap di tikungan tangga. Ada sesuatu di dadanya yang aneh. Ia tidak tahu apa. Mungkin hanya... aroma kayu manis ini yang terlalu kuat, pikirnya.
Di lantai atas penginapan Lembayung Niralasa, cahaya lilin sihir menggantung di udara—bergerak pelan seperti nyawa-nyawa lembut yang menjaga tidur para penghuni malam. Bhirendra membaringkan Chandani di atas ranjang kayu ukir yang dilapisi selimut sutra lembut. Gerakannya terukur, nyaris hening, seperti menyusun pecahan kenangan yang mudah retak.
Ia menatap wajah mungil itu, yang nampak pucat, namun damai. Telapak tangannya terulur, menyentuh kening Chandani. Cahaya biru lembut menyelimuti tubuh gadis itu, menjalar perlahan ke luka-luka kecil dan menyusup ke dalam tubuh rapuhnya. Gadis itu menggumam dalam tidur, menyebut nama kakaknya sebelum kembali terlelap.
Hela napas Bhirendra terdengar berat. Ia berdiri, sejenak menatap gadis itu seolah hendak berkata sesuatu, lalu membalikkan badan dan menutup pintu kamar perlahan.
Di aula bawah, Reina duduk bersila di sofa rotan, tubuhnya dililit jubah yang setengah terlepas, rambutnya berantakan namun wajahnya tetap tenang. Tenang dalam kegamangan. Radeeva duduk santai di sebelahnya, dengan senyum yang tampak terlalu puas, satu tangan menopang dagu, mata setengah terpejam.
Begitu Bhirendra turun, Radeeva mengangkat alis. "Sudah selesai jadi pengasuh malam?" godanya, ringan, namun menggigit.
Bhirendra tidak menjawab. Ia hanya menarik kursi dan duduk tegak di seberang mereka. Suaranya pelan, nyaris tak terdengar ketika ia merapalkan mantra perlindungan. Sebuah lingkaran sihir samar membentuk pola di bawah kaki mereka, mantra penjaga, tindakan prajurit sejati yang tak pernah lengah.
"Kau yakin Chandani aman?" tanya Reina, suaranya jernih tapi penuh waspada.
"Kamar itu dijaga tiga lapis mantra. Jika ada yang mendekat dengan niat buruk, aku akan tahu," jawab Bhirendra tanpa memandangnya.
Hening menyusup di antara mereka.
Radeeva mengangkat bahu, bersenandung pelan. "Adik Pramudya, ya... tapi kenapa bisa sampai di tengah hutan dan diserang Panarasa Hitam? Terlalu kebetulan untuk disebut kebetulan."
Seketika mata Bhirendra menyipit. "Panarasa Hitam?"
Radeeva dan Reina mengangguk bersamaan. Radeeva bersandar lebih dekat ke Reina. "Mereka dulunya murid Pesanggrahan Bayu Luhur. Namun mereka memilih jalur kegelapan. Kini mereka adalah bayangan dari sihir murni Astadewa."
Reina terdiam, lalu bertanya, "Berarti... mereka musuh kalian?"
"Musuh Swastamita," jawab Radeeva, menoleh padanya dengan tatapan yang melembut. Tangannya terulur ingin menyentuh pelipis Reina, namun gadis itu buru-buru menepis dengan canggung. Wajah Radeeva masam, tapi tidak membalas.
"Kenapa adik wakil panglimamu bisa ada di sini?" tanya Radeeva, kini lebih serius. "Bukankah dia seharusnya di Asrama Aralama?"
Bhirendra tidak langsung menjawab. Ia menatap perapian yang menyala di sudut ruangan. Nyala api memantul di matanya, membentuk kilasan masa lalu yang terlalu berat untuk disebutkan.
"Apa itu Asrama Aralama?" tanya Reina pelan, matanya berganti-ganti antara kedua pria itu.
"Tempat bagi para bangsawan Wismara yang tak memiliki keluarga," bisik Radeeva. "Tempat sunyi bagi mereka yang kehilangan."
Detak jantung Reina berdenyut lebih keras. Seketika ia merasa seperti bercermin, melihat kembali anak kecil dalam dirinya yang terombang-ambing di panti asuhan, memeluk dingin dan rindu yang tak bernama.
"Chandani tak seharusnya meninggalkan Aralama," ucap Bhirendra akhirnya. Suaranya dalam, terbungkus awan gelisah. "Jika ia lolos, berarti ada sesuatu yang lebih besar sedang bergerak di balik layar."
"Seperti musibah?" bisik Reina.
Tatapan Bhirendra beralih, menangkap mata Reina yang basah dan jujur. Untuk sejenak, dunia seperti diam. Cakra Adhiwara di jari Reina memancar cahaya redup. Denyar halus yang menyusup ke ruang antara mereka.
Reina buru-buru menarik tangannya, menunduk. "Maaf... aku hanya menebak."
Radeeva menghela napas dan berdiri. "Malam ini kita butuh tidur. Tapi satu hal pasti, Chandani bukan sekadar datang membawa cerita. Bisa jadi dia adalah cerita itu sendiri."
Reina berdiri lebih dulu. "Aku ke kamar. Jangan ganggu," ucapnya dingin, lalu berjalan cepat menaiki tangga.
Radeeva menoleh pada Bhirendra. "Kalau kau terus menatap api itu, Bhira... kau akan terbakar. Tapi bukan oleh sihir. Oleh perasaanmu sendiri."
Bhirendra tidak menjawab. Tapi dadanya bergemuruh. Ia memejamkan mata sesaat. Wajah Reina terpantul di balik kelopak.
Di kamar atas, Reina membuka jendela kecil. Cahaya ungu dari lentera desa menari di udara. Sungai berkilau tenang di kejauhan. Tapi dadanya penuh riuh.
Ia memandang cincin di jarinya. "Kenapa kau ikut bergetar saat aku menatapnya?" bisiknya.
Tak ada jawaban.
Hanya angin yang memeluknya pelan, dan aroma kayu manis yang entah kenapa... terasa seperti luka yang belum sembuh.