Bab 10 – Tarian Badai dalam Jiwa
Fajar di Wilayah Angin Terukir adalah sebuah simfoni warna yang memukau. Langit perlahan berubah dari nila pekat menjadi ungu lembut, lalu disapu semburat jingga dan merah muda di ufuk timur. Batu-batu raksasa yang dipahat angin tampak hidup, menangkap cahaya pertama dan memantulkannya dalam bayang-bayang panjang yang menari. Angin pagi berhembus lembut, namun membawa energi purba yang terasa hingga ke tulang.
Ruhosi berdiri di tengah dataran terbuka yang dikelilingi oleh para Pengukir Angin. Mereka diam, sosok-sosok ramping berjubah yang menyatu dengan lanskap. Tetua Kaivan berdiri paling depan, matanya yang setajam elang mengamati setiap gerakan Ruhosi.
"Ujian pertama: Menari bersama Angin Fajar," suara Tetua Kaivan terdengar tenang namun menggema, dibawa oleh hembusan angin. "Biarkan jiwamu yang bergerak, bukan pikiranmu. Rasakan iramanya, jangan melawannya. Jika angin menolakmu, nasibmu ada di tangannya."
Ruhosi nyengir. "Menari, ya? Oke deh! Ada musiknya nggak? Atau aku siul sendiri aja biar seru?" Ia bahkan sempat melakukan beberapa gerakan pemanasan konyol, membuat beberapa Pengukir Angin muda hampir tak bisa menahan senyum.
Tetua Kaivan hanya menggeleng pelan. "Angin adalah musiknya, Ruhosi. Dengarkan baik-baik."
Saat matahari mulai mengintip malu-malu dari balik cakrawala, angin fajar mulai berubah. Dari hembusan lembut, ia menjelma menjadi pusaran-pusaran energi yang lebih kuat, menderu pelan di sekitar Ruhosi. Debu dan kerikil kecil mulai terangkat, menari-nari di udara.
Awalnya, Ruhosi mencoba menghindarinya dengan kelincahan yang ia pelajari dari Ras Bayangan. Ia melompat, berguling, bahkan mencoba "menggoda" angin dengan gerakan cepat. Tapi angin itu seolah memiliki kesadaran sendiri. Semakin Ruhosi bergerak aktif untuk menghindar, semakin kuat angin itu menekannya, mendorongnya, bahkan mencoba mengangkatnya dari tanah.
"Whoa, galak juga ya angin paginya!" seru Ruhosi, sedikit terengah-engah. Asap hitam dari retakan di tubuhnya mulai mengepul lebih tebal, mencoba membentuk perisai naluriah. Tapi perisai itu justru seperti menantang angin, membuatnya semakin ganas.
Para Pengukir Angin mengamati dalam diam. Beberapa dari mereka mulai berbisik.
> "Dia melawannya."
> "Auranya… terlalu pekat. Angin tidak menyukainya."
>
Tetua Kaivan tetap tenang, namun sorot matanya semakin dalam.
Ruhosi mulai merasa terdesak. Ia teringat pesan Tetua Kaivan: "Biarkan jiwamu yang bergerak." Ia juga teringat latihannya dengan Ras Kabut Hijau, tentang menghadapi bayangan diri dan menemukan keseimbangan.
"Oke, oke, aku ngerti!" gumam Ruhosi pada dirinya sendiri, sambil mencoba mengatur napas. "Jangan dilawan… tapi gimana caranya nari sama sesuatu yang mau ngelempar aku ke bulan?"
Ia menutup matanya. Mengabaikan deru angin yang semakin kencang di telinganya. Ia mencoba merasakan apa yang ada di balik kekuatan itu. Bukan ancaman, tapi… denyutan. Irama. Seperti detak jantung raksasa.
Perlahan, Ruhosi berhenti bergerak. Ia membiarkan tubuhnya rileks. Asap hitam dari retakan tubuhnya tidak lagi membentuk perisai, melainkan mulai berputar lembut mengelilinginya, seperti selendang kegelapan yang aneh. Angin kencang menerpanya, menarik-narik jubah kulit monsternya.
Lalu, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Dari dalam diri Ruhosi, bukan hanya aura gelap yang merespons. Sisa-sisa energi cahaya dari warisan darah ayahnya yang selama ini terpendam, dan energi kehidupan dari darah manusianya, mulai beresonansi. Retakan di kulitnya yang biasanya mengeluarkan asap hitam, kini di beberapa titik memancarkan kilau putih keperakan yang sangat tipis, nyaris tak terlihat.
Asap hitam dan kilau cahaya itu mulai berbaur, menciptakan efek visual yang aneh di sekitar Ruhosi. Bukan lagi perisai, tapi seperti… aura yang berdenyut, menyerap sebagian energi angin, lalu melepaskannya kembali dalam ritme yang berbeda.
Ruhosi tidak lagi menghindar. Ia mulai bergerak, tapi gerakannya aneh. Kadang lambat seperti daun jatuh, kadang cepat seperti kilat kecil. Kakinya tidak menapak tanah dengan kokoh, melainkan seolah melayang sepersekian senti, mengikuti aliran angin yang tak terlihat. Ia tidak menari melawan angin, tapi juga tidak sepenuhnya mengikuti. Ia menciptakan tarian di dalam angin, sebuah harmoni yang kacau namun entah bagaimana terasa pas.
Para Pengukir Angin terbelalak. Ini bukan cara mereka "menari" dengan angin. Cara mereka adalah tentang penyerahan diri total, menjadi satu dengan angin. Tapi anak ini… ia seperti bernegosiasi dengan angin, bermain dengannya, bahkan sedikit… menggodanya.
Lensa Kabut di kantung Ruhosi tiba-tiba bergetar hebat. Ruhosi, dalam keadaan setengah sadar merasakan dorongan untuk menggunakannya. Dengan mata masih terpejam, tangannya meraih lensa itu dan menempelkannya ke matanya.
Dunia meledak dalam penglihatannya.
Angin fajar bukan hanya energi biru dan perak. Di dalamnya, ia melihat untaian-untaian emas tipis—jejak energi purba yang jauh lebih kuat. Dan di pusat pusaran angin yang liar, ia melihat siluet samar… sebuah bentuk seperti kunci raksasa atau artefak kuno, berdenyut dengan kekuatan yang maha dahsyat. Itu adalah jantung dari Pusaran Suci, yang seharusnya tak terlihat oleh mata biasa, bahkan oleh Pengukir Angin sekalipun kecuali dalam meditasi terdalam.
"Itu…" bisik Ruhosi, napasnya tercekat.
Siluet itu seolah merasakan tatapannya. Sebuah gelombang energi murni, dingin namun kuat, melesat dari siluet kunci itu menuju Ruhosi.
"Ruhosi, awas!" teriak Tetua Kaivan, menyadari ada sesuatu yang salah. Energi ini terlalu kuat, bahkan untuknya.
Tapi Ruhosi, dalam tariannya yang aneh, justru menyambut gelombang energi itu. Aura campuran hitam dan putih di sekelilingnya berputar semakin cepat. Saat energi itu menghantamnya…
Tidak ada ledakan.
Energi itu seolah terserap masuk ke dalam kalung simbol cahaya dan kegelapan yang dikenakannya. Kalung itu bersinar sesaat, lalu kembali normal.
Angin fajar tiba-tiba mereda. Kembali menjadi hembusan lembut. Matahari telah naik sepenuhnya, menyinari dataran dengan cahaya keemasan.
Ruhosi berdiri terengah-engah, Lensa Kabut masih menempel di matanya. Ia menatap kosong ke arah Pusaran Suci, lalu perlahan menurunkannya.
Para Pengukir Angin terdiam seribu bahasa. Tetua Kaivan mendekat dengan langkah hati-hati.
"Ruhosi… apa yang kau lihat? Apa yang terjadi?"
Ruhosi mengerjap beberapa kali, lalu nyengir, meski wajahnya pucat.
"Tadi itu… seru banget! Anginnya kayak ngajak kenalan lebih jauh. Dan… aku lihat sesuatu yang berkilau di sana. Kayak… mainan besar."
Tetua Kaivan menatap kalung di leher Ruhosi, lalu ke mata anak itu yang masih menyimpan sisa-sisa keterkejutan dan kekaguman.
"Kau… berhasil melewati ujian pertama," kata Tetua Kaivan pelan, nadanya campur aduk antara takjub dan khawatir. "Tapi sepertinya… kau telah membangunkan sesuatu yang lebih dari sekadar angin."
Di kejauhan, tanpa sepengetahuan mereka, retakan tipis berwarna ungu gelap muncul sesaat di langit, lalu menghilang. Sosok berjubah ungu itu merasakan gelombang energi dari Pusaran Suci.
> "Sebuah fragmen… atau penjaganya? Bocah itu… dia mempercepat segalanya. Menarik… sangat menarik."
>