Orang bilang, cinta pertama itu tak pernah benar-benar hilang. Mungkin karena ia yang paling jujur, paling polos, dan… paling sakit saat harus dilepas.
Tapi sebelum semua jadi luka, cinta itu pernah hangat. Begitu juga aku dan Sarah.
Aku bertemu Sarah di semester awal kuliah, saat aku salah masuk kelas. Harusnya mata kuliah filsafat, tapi aku malah duduk manis di kelas estetika yang asing. Lucunya, bukan dosen yang membuatku sadar aku salah ruangan, tapi suara lembut dari samping kiriku.
"Kamu nggak salah kelas?" katanya sambil tersenyum.
Aku menoleh. Dia mengenakan sweater abu-abu, rambutnya dikuncir tinggi. Matanya kecil, sipit, tapi bersinar cerah. Entah kenapa, saat itu aku malah menjawab dengan yakin, "Enggak kok."
Dia tertawa kecil. "Yaudah, enjoy aja deh, kuliah tamunya."
Dari situ, semuanya mengalir seperti cerita klise yang sering kutertawakan di film. Kami sering bertemu di perpustakaan, di kantin, bahkan di halte kampus. Tapi bedanya, ini nyata. Dan saat aku sadar, aku sudah menunggu-nunggu setiap momen kami berpapasan.
Sarah bukan tipe perempuan yang suka jadi pusat perhatian. Dia lebih suka duduk di pojokan kelas, mendengarkan sambil mencatat. Tapi justru itu yang membuatnya istimewa—dia tak pernah mencoba jadi sesuatu yang bukan dirinya.
"Aku suka cowok yang suka buku," katanya suatu sore, saat kami sama-sama duduk membaca di taman kampus.
Aku langsung menutup novel yang sebenarnya baru kubaca dua halaman. "Aku suka buku," kataku cepat.
Dia melirik, melihat judul buku yang masih bersih. "Oh ya? Apa yang kamu suka dari buku ini?"
Aku gugup, lalu pura-pura bersin dan bergumam, "Kertasnya… halus."
Dia tertawa terbahak-bahak, dan aku tahu sejak saat itu: aku ingin membuat dia tertawa setiap hari.
Kami mulai dekat. Tak pernah ada kata jadian. Tak ada momen tembak-menembak seperti di sinetron. Kami hanya… tahu. Bahwa kami saling menyukai. Bahwa kami nyaman. Bahwa dunia terasa lebih ringan saat kami bersama.
Sarah suka kopi tanpa gula. Aku mulai belajar menyukainya juga. Sarah suka hujan, dan aku mulai berharap tiap sore akan turun gerimis. Sarah suka mendengarkan lagu-lagu lawas, dan aku mulai menyelipkan lagu-lagu itu di playlist-ku.
Bukan karena aku berubah untuknya. Tapi karena bersamanya, hal-hal kecil jadi terasa berarti.
"Aku pengen masa depan yang sederhana aja," katanya suatu malam. Kami duduk di tangga asrama putri, diam-diam. "Punya rumah kecil, taman kecil, dan orang yang bisa dengerin keluhanku tiap malam."
Aku mengangguk. "Kedengarannya indah."
Dia menoleh. "Kamu mau jadi bagian dari itu?"
Waktu seakan berhenti.
Dan aku—yang waktu itu belum tahu bahwa cinta juga bisa berubah—menjawab, "Iya. Aku mau."
Sekarang, bertahun-tahun kemudian, kata-kata itu masih terdengar jelas di kepalaku. Seperti rekaman yang terus diulang tanpa henti.
Lucu ya, bagaimana sesuatu yang dulu terasa pasti... ternyata cuma sementara.
Sarah pernah jadi rumah bagiku. Tapi aku lupa, bahkan rumah pun bisa dijual, direnovasi, atau ditinggalkan.
Dan aku, tetap berdiri di depan pintunya, mengetuk dalam diam.
...