Langit senja sudah mulai gelap saat mereka tiba di kombini.
Lampu putih menyala terang dari dalam, memantulkan bayangan mereka di kaca pintu.
Ichigo membuka pintu dengan santai, lonceng kecil di atas pintu berdenting pelan.
Asuka menyusul masuk, langkahnya ringan tapi mata waspada.
Mereka berdua pura-pura santai. Padahal tensi udara di sekitar mereka sudah berubah.
Ichigo langsung berjalan ke kulkas bagian belakang, matanya tertuju ke es krim melon favoritnya.
Tangannya membuka pintu kulkas tanpa ragu dan mengambil satu.
"Asuka, kau mau yang soda, kan?"
Asuka mengangguk kecil, tetap berdiri menghadap pintu masuk.
"Iya. Yang ada gelembung-gelembung birunya."
Ichigo mengambil satu dan melemparkannya ke Asuka.
Asuka menangkap es krim itu dengan satu tangan tanpa menoleh.
"Kau lempar lagi, es krim ini nanti penyok bungkusnya."
Ichigo menyeringai kecil, membuka es krimnya sendiri.
"Yang penting masih dingin."
Mereka menuju kasir.
Petugas kasir, seorang pria muda dengan seragam biru pucat, tampak gugup.
Tangannya gemetar saat memindai barcode es krim Ichigo dan Asuka.
Ichigo menyipitkan mata, lalu menoleh ke samping.
“Asuka... kurasa kita tidak sendiri.”
Asuka sudah tahu. Tangannya pelan-pelan menyentuh gagang pedangnya yang tersembunyi di balik jaket panjangnya.
Seketika itu juga—
BOOM!!
Pintu kombini ditendang terbuka oleh seseorang.
Lima orang bersenjata masuk, dua di antaranya membawa senapan pendek.
“JANGAN BERGERAK!” salah satu dari mereka berteriak.
Asuka memiringkan kepala sedikit, lalu melirik Ichigo.
Ichigo menggigit es krimnya, sama sekali tak menunjukkan rasa takut.
“Asuka. Bersiaplah. Mereka bawa senjata.”
Nada suaranya berubah serius dalam sekejap.
Asuka mengangguk.
“Jumlah mereka?”
Ichigo mengangkat jari—lima.
“Begini, kita bekerja sama.”
Es krimnya masih di mulut, tapi dia tetap bicara santai.
“Aku jadi tamengmu. Aku kan punya kemampuan Immune to Anything.”
Asuka menyeringai. Matanya yang ungu pucat memancarkan sinar berbahaya.
“Dan aku punya Touch of Death. Oke, kuikuti.”
Dia berjalan pelan, lalu membuka bungkus es krimnya dengan satu tangan.
“Setelah ini, kau masih beliin aku es krim lagi, ya.”
Ichigo menatapnya dengan ekspresi datar.
“Mati dulu mereka, baru bicara soal es krim.”
Ia melempar bungkus kosong ke lantai, lalu melangkah maju.
Salah satu pria bersenjata mengarahkan senapan padanya.
BRAK!! BRAK!!
Dua peluru ditembakkan—menembus tubuh Ichigo—tapi tidak terjadi apa-apa.
Ichigo terus berjalan.
Baju seragamnya robek sedikit, tapi tubuhnya tidak cedera sama sekali.
“Menyenangkan sekali jadi aku, ya?” katanya enteng.
Wajah para penyerang langsung berubah panik.
“APA-APAAN DIA INI?!”
Asuka menyelinap di belakang Ichigo, langkahnya cepat dan ringan.
Mereka tak menyadari kehadirannya sampai dia menyentuh leher salah satu dari mereka.
“Touch of Death.”
Tubuh pria itu langsung jatuh ke lantai, membatu dan membiru seketika.
Asuka mundur cepat, kembali berlindung di belakang Ichigo.
Satu penyerang lain maju sambil mengayunkan pisau.
Ichigo menangkis dengan lengan kirinya—tak berdarah, tak cedera.
Ia memutar tubuhnya, membiarkan Asuka menyentuh punggung pria itu.
Seketika tubuhnya terjatuh, seperti boneka kehilangan nyawa.
Sisa tiga penyerang mencoba mundur.
Salah satu dari mereka menarik senjata lain—granat kejut.
Ichigo menendangnya sebelum sempat dilempar.
“Serius... granat ke kombini?”
Asuka sudah di sisi kiri, menyentuh satu lagi. Tubuh korban langsung mengeras, lalu jatuh.
“Dua lagi.”
Asuka berkata sambil menarik napas. Wajahnya tetap tenang.
Satu orang menyerah, melempar senjatanya dan berteriak, “JANGAN BUNUH AKU!”
Ichigo menatapnya tajam.
“Kau masuk ke kombini bawa senjata... dan bilang jangan dibunuh?”
Asuka melangkah ke arah pria itu, tapi Ichigo mengangkat tangan.
“Biar satu hidup. Supaya bisa cerita ke bos mereka.”
Asuka mengangguk setuju, meski jari-jarinya masih gatal ingin menyentuhnya.
Mereka berdua berdiri di antara tubuh-tubuh yang berserakan.
Petugas kasir pingsan di balik meja.
Ichigo menoleh ke rak minuman.
“Kurasa kita nggak perlu bayar hari ini.”
Asuka tertawa ringan.
“Ya... kompensasi karena kombini-nya berantakan.”
Mereka berdua keluar dari toko, es krim masih di tangan.
Langkah mereka santai seolah tidak baru saja membantai.
Di belakang mereka, sirene polisi mulai terdengar dari kejauhan.
Ichigo menjilat es krimnya.
“Asuka, es krimmu masih utuh?”
Asuka mengangkat es krim soda-nya sambil tersenyum.
“Masih. Dunia belum layak dihancurkan, aku rasa.”
---
Langkah mereka menjauh dari kombini, perlahan tapi mantap.
Tangan Asuka masih memegang es krim soda-nya, sedikit meleleh tapi belum habis.
Ichigo berjalan di sampingnya, ekspresinya datar tapi mata waspada.
Suara sirene makin jauh di belakang mereka. Jalanan mulai sepi.
Langit malam perlahan menelan cahaya terakhir senja.
“Bagaimana kalau aku menyarankanmu untuk sementara tinggal di rumahku?” ucap Ichigo.
Ia melirik ke arah Asuka, menunggu reaksinya.
Asuka menghentikan langkah, lalu menoleh dengan tatapan menyipit.
“Kau pasti ingin melakukan hal mesum, kan?”
Nada bicaranya datar, tapi sudut bibirnya sedikit naik.
Tanpa peringatan—PLAKK!!
Ichigo menyentil kening Asuka cukup keras sampai gadis itu mundur selangkah.
“Kalau aku seperti itu, sudah dari kemarin pas kau menginap di rumahku, tahu?!”
Asuka mengusap dahinya pelan, wajahnya cemberut kesal.
“Aduh, sakit tahu...!”
Ichigo berhenti dan menatapnya serius.
“Kau tahu kan kita baru saja diburu tadi?”
Asuka membalas tatapannya, mata ungu pucat itu bersinar redup.
“Kan aku punya kemampuan Touch of Death.”
Dia mengangkat satu jarinya ke atas. “Aku sentuh, mereka mati.”
Ichigo menghela napas panjang, jelas kesal.
“Kau pikir para pemburu itu kolot? Bodoh?”
Ia melipat tangan di dada, berdiri tepat di depan Asuka.
“Tidak, Asuka. Mereka pasti punya cara. Mereka pasti punya alat.”
“Alat untuk menangkapmu tanpa harus menyentuhmu.”
“Asuka, kau tahu analogi ini?” Ichigo mulai bicara sambil menunjuk ke tanah.
“Kalau pemadam kebakaran mau nangkap hewan liar kayak... ular cobra misalnya.”
“Kau pikir mereka akan tangkap pakai tangan kosong?”
“Jelas tidak, kan? Mereka pasti mati kalau begitu.”
“Mereka punya alat. Tongkat, jaring, sarung tangan baja, apa pun itu.”
“Begitu juga dengan para pemburu tadi,” lanjut Ichigo sambil menatap lurus ke matanya.
“Kau itu ibarat ular beracun—berbahaya tapi bisa dijinakkan dengan alat yang tepat.”
“Aku nggak mau kau ketangkap.”
“Aku juga nggak mau aku yang diculik.”
“Makanya jangan keras kepala, tolong.”
Asuka menatapnya dalam diam.
Matanya memandangi wajah Ichigo sejenak sebelum menunduk pelan.
Angin malam bertiup lembut, rambut ungunya sedikit berantakan.
“Aku... ngerti.”
Tapi suaranya masih pelan, seperti belum yakin.
Ichigo melangkah mendekat dan berdiri tepat di sampingnya.
“Tapi kalau kita berdua bersama, kita bisa lawan mereka.”
Tangan Ichigo mengepal, nada suaranya makin mantap.
“Aku dengan kekuatan Immune to Anything.”
“Kau dengan Touch of Death-mu.”
“Asuka, kau bukan sendiri lagi.”
“Kau nggak perlu lawan dunia ini sendirian.”
Ichigo menoleh, menatap matanya lagi.
“Kalau kau tinggal bersamaku... setidaknya aku bisa jaga kau.”
“Bukan karena aku mesum... tapi karena aku peduli.”
Asuka menatapnya lama.
Wajahnya tak menunjukkan ekspresi aneh, hanya tenang dan dingin seperti biasa.
Lalu perlahan, dia menyodorkan sisa es krim soda-nya.
“Kalau begitu... simpan ini di kulkasmu.”
Ichigo mengangkat satu alis, terkejut.
“Itu artinya kau setuju?”
Asuka mengangguk kecil, lirih. “Sementara, ya.”
“Kalau kau mulai aneh, aku sentuh kau sampai mati.”
Ichigo menyeringai, mencubit pipi gadis itu.
“Simpan ancamannya, si ular ungu.”
Mereka melanjutkan langkah, menyusuri gang sepi menuju rumah Ichigo.
Di balik bayang-bayang gelap... seseorang mengamati mereka.
Topi hitam, wajah tersembunyi, alat di tangan—bukan senjata biasa.
Suara klik kecil terdengar saat alat itu menyala merah.
Pemburu baru telah mengunci targetnya.