Cherreads

Chapter 11 - 11

Saat tubuh Mia terkulai tak sadarkan diri, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat. Sekelompok pria berbaju jas hitam muncul di ambang pintu, membuat seluruh keluarga Xiao menegang.

"Siapa kalian?!," bentak Pak Jerry, menunjuk mereka dengan waspada.

Namun belum sempat ada jawaban, Bu Yanti mencengkeram tubuh Mia lebih erat, menariknya kembali ke pelukannya.

"Jangan ada yang macam-macam! Kalau kalian berani maju, aku akan membunuh wanita ini!" ancamnya, matanya liar penuh kebencian.

Salah satu pria—tampan, tinggi, dan berwibawa—melangkah maju. Tatapannya menusuk ke arah Bu Yanti seperti panah tajam.

"Kau tak perlu tahu siapa kami," ucapnya dingin. "Tapi yang jelas, lepaskan tangan kotormu dari orangku."

Bu Yanti terkekeh, tawanya keras dan gila.

"Ha...ha...ha! Kau pikir aku takut? Gadis ini harus mati di tanganku!"

"Aku hitung sampai tiga," suara pria itu terdengar tajam. "Satu... dua—"

Tanpa peringatan, Bu Yanti melempar tubuh Mia ke arah pria tersebut. Dengan cepat dan penuh ketangkasan, pria itu menangkap Mia dalam pelukannya, memastikannya tetap aman.

Namun belum cukup sampai di situ. Dengan kemarahan yang tak terbendung, ia melangkah mendekati Bu Yanti.

"Berani-beraninya kau melemparkan tubuhnya seperti sampah!" geramnya.

Seketika, terdengar suara krek!—suara tulang yang patah. Lengan Bu Yanti terpelintir ke arah yang tak wajar. Dia menjerit ngeri, kesakitan luar biasa.

Agnes dan Pak Jerry hanya bisa terpaku. Ketakutan melanda wajah mereka. Pria itu berdiri tegak, menatap mereka semua dengan dingin.

"Menyentuhnya sekali lagi," katanya pelan, "dan kalian tak akan punya kesempatan kedua."

"Brengsek, siapa mereka sebenarnya? Terutama pria tampan itu... Begitu dewasa, berwibawa, dan penuh kharisma. Kenapa dia harus melindungi Mia?!" gerutu Agnes dengan wajah masam, matanya masih terpaku pada sosok pria yang baru saja membawa Mia pergi.

"Mah, kamu nggak apa-apa kan? Coba aku lihat tanganmu," ujar Agnes sambil memegang lengan Bu Yanti yang masih meringis kesakitan.

"Au! Aduh! Sakit!" pekik Bu Yanti, air matanya menetes menahan nyeri.

Salah satu pria berjas hitam mendekat, menatap tajam ke arah mereka. "Kalau sampai terjadi sesuatu pada Mia, aku bersumpah... kalian akan menyesal seumur hidup. Kalian akan kubuat hidup seperti mayat berjalan."

"Berani sekali kau mengancam aku! Siapa kau sebenarnya?" geram Bu Yanti, masih menahan sakit di lengannya.

Namun Shandy Shen melangkah maju. Tatapannya dingin. Suaranya tenang, tapi tegas seperti palu godam.

"Kamu, Jerry Xiao. Kau memang bukan ayah kandung Mia, tapi kau tahu betapa besar cinta Ana pada anak itu. Setelah kematian Ana dan Nenek Shen, seharusnya kau menjaga Mia, bukan membiarkannya dianiaya seperti ini!"

Shandy menunjuk dada Jerry dengan telunjuknya. "Kau berdiri seperti patung ketika Mia hampir kehilangan nyawanya. Dan sekarang? Jangan pernah berharap kau bisa bertemu Mia lagi. Karena mulai hari ini... aku yang akan menjaganya."

Jerry tertunduk, tak mampu berkata apa pun.

Bu Yanti menyeringai, meski lengan kirinya nyaris tak bisa digerakkan. "Jangan pikir ini akan selesai begitu saja. Aku akan balas! Kau membuat lenganku patah—"

"Apa perlu kurobek mulutmu agar kau tak bisa bicara seumur hidup?" potong Shandy tajam.

Dengan sigap, dia menggendong tubuh mungil Mia yang masih tak sadarkan diri.

"Jika kau ingin membalas dendam, ingat ini baik-baik: namaku Shandy Shen. Aku adalah paman Mia. Dan aku tidak akan membiarkan satu helai pun rambut keponakanku disentuh lagi oleh orang-orang busuk seperti kalian."

Shandy berbalik, lalu memberi perintah tegas pada asistennya.

"Gilang, ambil semua barang milik Mia. Bawa ke kediaman keluarga Shen. Jangan sampai ada yang tertinggal."

"Baik, Tuan," sahut Gilang cepat.

Dalam perjalanan, Shandy terus menatap wajah pucat Mia yang terkulai di pelukannya. Hatinya perih.

“Maafkan Paman, Nak... Tak seharusnya kau kembali ke keluarga Xiao. Aku terlalu lambat... terlalu bodoh karena tak mendengar peringatan Nenek Shen. Aku biarkan ibumu menikah dengan pria sekejam itu,” lirihnya sambil mengelus lembut pipi Mia.

“Aku gagal menjaga ibumu, dan sekarang... aku hampir kehilangan kamu juga.”

---

Tiga puluh menit kemudian, mobil Shandy tiba di rumah sakit. Tanpa pikir panjang, ia berlari menerobos pintu UGD sambil menggendong Mia.

"Dokter! Tolong! Keponakan saya... dia belum sadar sejak tadi!" teriak Shandy panik.

Dokter dan perawat segera menghampiri, membawa Mia ke dalam ruang penanganan darurat. Shandy berdiri di lorong, wajahnya cemas, kedua tangannya mengepal, langkahnya bolak-balik seperti orang hilang arah.

Tak ada yang lebih ditakutinya saat ini... selain kehilangan satu-satunya warisan hidup dari Ana yang pernah ia sayangi.

Sementara itu, di sudut kota, seorang pria tampan masih sibuk menyusuri jejak Mia. Ryu tak mengenal lelah, dan kini langkahnya membawanya ke rumah keluarga Biromo.

Pak Biromo yang sedang duduk santai di ruang tamu, menoleh ketika melihat tamu tak terduga itu masuk.

"Ada apa, Nak Ryu? Sampai-sampai kamu datang langsung ke rumah ini. Pasti hal penting yang membawamu ke sini," ucap Biromo sambil menyandarkan tubuhnya.

Ryu duduk di hadapannya, wajahnya serius dan penuh tekanan. "Begini, Om. Aku sedang mencari seorang gadis. Dan aku rasa, Om mungkin tahu siapa dia."

"Siapa yang kamu cari?" tanya Biromo sambil menuangkan teh hijau ke cangkir Ryu. "Kalau sampai kamu datang sendiri, pasti dia bukan wanita biasa bagimu."

Ryu menerima cangkir teh itu dan menyesapnya perlahan sebelum menjawab, "Dia wanita muda. Asisten pribadi Rico yang Om rekrut. Namanya Mia. Aku butuh alamat rumahnya, nomor handphone, email—apa pun. Aku sudah menyuruh orang mencarinya, tapi seperti ada yang sengaja menghapus semua jejaknya."

Biromo terdiam sejenak. Sorot matanya berubah. "Maksudmu... Mia?"

"Benar, Om," sahut Ryu singkat.

Pak Biromo menarik napas dalam. "Mia bukan gadis sembarangan. Dia anak desa yang saya rekrut karena kemampuan luar biasanya. IQ-nya sangat tinggi. Saya mendekatinya bukan karena asal pilih, tapi karena dia adalah kunci penyelamat perusahaan Rico."

Ia lalu mengambil secarik kertas dan mulai menulis. "Saya pertama kali menemukannya saat dia masih tinggal di keluarga Xiao. Informasi tentangnya saya dapat dari Dio, mantan kekasihnya saat kuliah."

Setelah menuliskan alamat, Biromo menyerahkan kertas itu pada Ryu.

"Ini alamatnya. Tapi untuk data lainnya, maaf… saya tak bisa berikan. Saya terikat perjanjian dengannya. Kalau dia tahu saya membocorkan ini, bisa-bisa RIC Group benar-benar jatuh."

"Terima kasih, Om," ucap Ryu sambil menerima kertas itu.

Namun saat ia hendak berdiri dan berpamitan, seorang asisten masuk terburu-buru dan membisikkan sesuatu ke telinga Biromo.

"Tuan… anak itu… Mia, sekarang berada di rumah sakit dekat persimpangan utama."

Wajah Biromo seketika berubah gelap. "Apa?! Dasar keluarga Xiao brengsek. Mereka menyentuh Mia… Mereka akan menyesal!"

Ia bangkit berdiri dengan cepat. "Ryu, kau ingin bertemu Mia? Ikut aku! Dia sedang dirawat di rumah sakit. Luka-luka karena perbuatan keluarga Xiao yang keji."

Tanpa banyak tanya, Ryu langsung mengangguk dan mengikuti Biromo keluar.

Keduanya melesat ke mobil, dihantui kegelisahan yang sama. Mereka melaju ke rumah sakit dengan kecepatan tinggi.

Tak ada kata yang cukup menggambarkan kekhawatiran mereka saat ini.

More Chapters