Cherreads

Chapter 3 - Git Gud

Awan—atau sekarang lebih tepat disebut Meridius—terbangun di atas hamparan padang rumput yang luas.

Angin semilir berhembus, menggoyangkan daun-daun tinggi yang menjuntai seperti ombak hijau.

Langit di atasnya berwarna oranye keemasan, seperti menjelang senja. Meridius duduk perlahan, masih mencoba mengatur napas meski secara teknis dia tidak punya tubuh sungguhan di sini.

Tubuhnya terasa ringan, tapi tetap nyata.

Ia menunduk dan memperhatikan penampilannya.

Dari kepala hingga kaki, dia mengenakan setelan leather clothes berwarna biru tua dan hitam.

Jaket ringan dengan sabuk-sabuk kecil di sisi lengan, celana ketat berbahan kulit yang fleksibel, dan sepatu pendek bertali yang tampak nyaman untuk bergerak cepat.

Desainnya simpel tapi bergaya—cukup keren, tapi masih cukup polos untuk terlihat seperti pemula.

“Yah... setidaknya aku nggak spawn telanjang,” gumamnya.

Dia memandang sekeliling. Tak ada rumah, tak ada papan petunjuk, hanya rerumputan, bukit kecil, dan... burung raksasa di kejauhan.

Sunyi. Terlalu sunyi.

“...Apa-apaan tadi raksasa-raksasa itu?” gumamnya sambil mengusap wajah.

“Para dewa Olympus? NPC gila?”

Nada suaranya kesal. Tapi lebih karena bingung.

Lalu tiba-tiba, UI game muncul di kiri atas pandangannya.

Transparan, sederhana, dan sedikit kasar desainnya.

HP: bar merah

MP: bar biru

Stamina: bar hijau

EXP: bar ungu tipis

Di samping keempat bar itu, ada angka “1” di dalam lingkaran, menandakan levelnya.

Di atasnya, tertulis namanya sekarang:

Meridius [Novice]

Meridius menatap antarmuka itu selama beberapa detik.

“Novice, kah? Dengan kata lain di game ini ada sistem job atau class.”

Dia berdiri, tubuhnya terasa ringan namun nyata.

Gerakan otot, rasa gravitasi, bahkan suhu udara—semuanya terasa sungguhan.

Dia menggeser jarinya ke bawah, membuka menu.

Bagian Equipment terbuka, dan di sana sudah tersedia beberapa senjata dasar. Sepertinya disediakan agar newbie bisa memilih gaya bertarung yang cocok.

Di sebelah kanan, ada juga bar proficiency.

Semakin sering digunakan, semakin naik level-nya.

“Kurasa… untuk sekarang aku pakai Shortsword saja.”

Ia menekan tombol Equip.

Ceklek.

Shortsword muncul tersarung di punggungnya.

Bentuknya sederhana—pedang pendek, sedikit berkarat, tapi masih cukup tajam untuk membunuh sesuatu… atau terbunuh sambil mencoba.

Meridius membuka menu perlengkapan sekali lagi dan memilih Light Armor dari daftar.

“Kalau musuh pertama nanti beneran muncul, setidaknya aku nggak telanjang dada,” gumamnya, lalu menekan tombol Equip.

Armor tipis berwarna abu-abu langsung menyelimuti tubuh avatarnya.

Ringan, fleksibel, dan cukup keren—mirip karakter-karakter stealth di game RPG klasik.

Namun saat ia membuka detail perlengkapannya, matanya menyipit.

Durability: 100/100

Weight: 9.4 Units

“Eh… durability? Weight?”

Dia menggulirkan deskripsi lebih jauh dan menemukan bagian yang membuatnya mulai berkeringat (secara virtual, tentu saja):

“Jika total berat melebihi kapasitas tubuh, karakter akan terkena status: Encumbered. Efek: Gerakan lambat, stamina boros, dan kemungkinan jatuh saat roll.”

“...Seriusan? Ini game apa latihan militer?”

Ia membuka menu Inventory. Ada notifikasi kecil:

Encumbrance: 38% / 100%

“Masih aman… Tapi berarti aku nggak bisa asal simpan semua item kayak game farming.”

Meridius—yang tadinya mengira ini akan jadi game santai penuh eksplorasi—mulai sadar bahwa dunia ini punya logika keras.

Tidak ada auto-loot.

Tidak ada fast travel.

Dan sekarang: berat badan digital pun harus diperhitungkan.

“Next thing you know, armor bisa rusak tengah jalan dan tiba-tiba jadi kaus oblong.”

Dia menggelengkan kepalanya dan memencet map di menu.

Ia membuka menu, lalu mengetuk ikon Map.

Seketika layar holografik muncul di depannya—tampilan peta dunia.

Dan...

Hitam. Total.

Hanya satu titik kecil yang menyala di tengah layar. Di situ tertulis:

Garden of Beginning

“Garden of... Beginning? Taman Permulaan?”

Dia mengangkat alis. “Klasik banget.”

Tidak ada ikon kota.

Tidak ada jalan.

Tidak ada indikator misi.

Hanya lingkaran kecil yang menandai posisinya sekarang.

Semuanya lain—gelap dan tak dikenal.

“Berarti peta ini harus dibuka manual? Jadi kayak... petualang beneran?”

Dia menutup map dengan swipe pelan.

Melihat sekeliling lagi.

Sunyi.

Tak ada musik latar.

Hanya suara angin dan rerumputan yang saling berdesir.

Dia menghela napas dan mulai berjalan ke arah utara.

Tanpa tutorial. Tanpa petunjuk arah. Tanpa bahkan satu pun popup ramah yang berkata "Welcome!"

Seolah dunia ini sengaja membiarkan pemain merasa... sendirian.

Beberapa langkah kemudian, ia melihat sesuatu di antara rerumputan tinggi.

Seekor kelinci putih, duduk manis, mengunyah rumput digital.

Kecil. Bulu bersih. Wajah polos.

Sebuah bar HP muncul di atasnya, disertai angka: Lv. 1

Meridius mengangkat bahu.

“Kalau kelinci doang mah, gampang.”

Senyumnya muncul. Akhirnya, ada sesuatu yang bisa dia pukul.

Dia mencabut Shortsword dari punggungnya, mengayunkannya di udara.

“HYAAAATTTT!!!”

Ia melompat keluar dari rerumputan, menerjang lurus ke arah kelinci—

Lalu...

mata kelinci itu menyala merah.

Bar HP-nya berubah.

Tulisan kecil muncul di atas kepalanya:

Vorpal Rabbit

“Predator of Novices”

Meridius—mengerem langkahnya.

“…Tunggu, apa tadi?”

Terlambat.

Kelinci itu berputar di tempat, lalu melesat ke arahnya seperti peluru.

WHAM!!

Tiba-tiba, layar berguncang. HP bar Meridius menurun drastis: dari 100 ke 13.

“APA INI?! KELINCI APA PAKAI JET ENGINE?!!”

Ia mengayunkan pedangnya sembarangan, panik.

Tapi Vorpal Rabbit melompat ke belakang, lalu menatapnya sejenak—dan seperti menghitung waktu.

Satu detik. Dua detik.

Lalu melompat lagi.

Dan kali ini—

SLASH.

HP: 0/100.

[YOU DIED]

Respawn in: 10… 9…

“…”

Awan terdiam.

Kemudian, dari dunia kegelapan tempat dia menunggu respawn, hanya satu kalimat keluar dari mulutnya:

“...Game ini brengsek.”

Meridius kembali muncul di tengah hamparan rumput.

Garden of Beginning.

Tempat yang sekarang terasa seperti checkpoint kematian.

Dia menghela napas panjang.

“...Aku harus latihan dulu. Kalau musuh awal saja secepat itu, berarti aku harus bisa gerak lebih cepat lagi.”

Dia mencabut pedangnya dan mulai mengayunkannya ke udara—ke kiri, ke kanan, diagonal.

Setiap ayunan mengurangi sedikit bar stamina di sisi layar.

Tapi saat dia berhenti, staminanya perlahan pulih.

“Setiap serangan butuh stamina. Kalau habis, aku jadi sasaran empuk.”

Ia mencoba gerakan dash.

Kakinya meluncur cepat beberapa langkah ke depan.

Bukan gerakan luar biasa cepat—tapi cukup untuk menghindari satu kelinci psikopat.

Dia mulai mengulangi gerakan itu berkali-kali:

Serang, dash, diam.

Serang, serang, dash ke samping.

Block, dash belakang.

Namun…

Rasanya canggung.

Gerakannya masih kaku.

Ayunan pedangnya seperti... nonton bocah TK main cosplay di taman.

“Gerakannya... aneh. Tidak ada gaya tetap?”

Dia berhenti sejenak. Lalu menyipitkan mata.

“Dengan kata lain… game ini tidak menyediakan gerakan template.

Player harus... menciptakan gaya bertarung mereka sendiri.”

Dia menatap pedangnya.

Ini bukan game yang memberi semua jawaban di awal.

Ini adalah dunia tempat pemain harus belajar bergerak seperti seorang pejuang sungguhan.

“...Mari kita rematch.”

Meridius menarik napas panjang, lalu mulai berlari ke arah utara—menuju tempat di mana kelinci iblis itu menunggunya.

Kali ini, dia tidak gegabah.

Langkahnya ringan, tubuhnya merendah, tangan menggenggam erat pedang pendeknya.

Ia melihatnya.

Vorpal Rabbit.

Masih di tempat yang sama.

Masih tampak imut.

Masih pembunuh berdarah dingin.

Meridius menarik pedangnya dari punggung.

Tangannya refleks menahan posisi menebas ke bawah—tapi kali ini... dia menahan posisi itu sedikit lebih lama.

Tanpa disadari, pedangnya mulai bergetar lembut.

Sinar samar mengelilingi bilahnya.

“Eh? Ini apa?”

Terlambat.

Kelinci itu menoleh cepat.

Mata merahnya menyala.

HP bar muncul.

Vorpal Rabbit – Lv. 1

Predator of Novices

Kelinci itu langsung meluncur ke depan, seperti misil berbulu.

Meridius, yang sudah dalam posisi menyerang, mengayunkan pedangnya—

FWOSSH!

Cahaya di pedangnya meledak keluar saat tebasannya mengenai tubuh kelinci itu.

Kelinci itu terlempar ke belakang, HP-nya langsung berkurang hampir separuh.

“Itu barusan... serangan yang kuat?! Aku... charged attack?!”

Meridius terpaku sejenak.

Sistem tidak pernah mengajarkan ini.

Dia hanya secara alami menahan pedang lebih lama... dan hasilnya, serangan menjadi lebih kuat.

Kelinci itu berguling bangkit.

Tatapannya semakin haus darah.

Tapi Meridius kini tersenyum kecut.

“...Oke, berarti memang ini game brengsek. Tapi brengsek yang bisa kupelajari.”

Kelinci itu melesat lagi.

Gerakan yang sama.

Kecepatan absurd. Tubuh melengkung seperti peluru berpemandu.

Tapi kali ini—Meridius siap.

Dia menjejak tanah, tubuhnya meluncur ke samping dengan dash yang baru ia latih.

Lalu tanpa ragu, ia memutar badan dan mengayunkan pedangnya ke arah target.

STAB!

Ujung pedang shortsword-nya menembus tubuh Vorpal Rabbit dari samping.

Kelinci itu terhenti.

Matanya yang merah bergetar, lalu meredup.

Sebelum mati, ia mengeluarkan satu pekikan melengking—seperti suara modem zaman dulu dicampur jeritan peluit.

 [+100 EXP]

Level Up! → Lv. 2

Sebuah nada klasik berbunyi di udara.

BGM JRPG ala 90-an menggema sejenak, lengkap dengan efek suara ting-ting-ting~!

Meridius menatap tubuh kelinci yang memudar menjadi partikel cahaya.

Lalu dia menghela napas.

“Fiuh…”

Ia menyarungkan pedangnya, masih setengah tak percaya.

“...Kurasa cukup balanced. Kelinci itu memang cepat, tapi ternyata cuma punya satu pola serangan. Hm?”

DROP, DROP, DROP, DROP, DROP!

Suara itu menggema dari balik bukit—suara kaki kecil berlari dalam jumlah tidak wajar.

Meridius menoleh.

Dan dia melihatnya.

Ratusan kelinci putih.

Semua dengan mata merah menyala.

Semua dengan bar HP bertuliskan: Vorpal Rabbit

Semua berlari ke arahnya dengan kecepatan seperti tsunami berbulu.

“Oi. Oi, OI! JANGAN BILANG—”

Dia teringat suara memekikkan kelinci pertama sebelum mati.

“Jangan bilang... itu tadi sinyal panggilan?!”

Gelombang kelinci makin dekat.

Satu kelinci melompat tinggi ke udara.

Yang lain menyusul.

Langit pun mulai dipenuhi makhluk mirip bola kapas dengan niat pembunuhan.

Meridius membalik badan dan langsung lari secepat mungkin.

“AKU CUMA NGALAHIN SATU!! KENAPA KALIAN SEMUA IKUT SAKIT HATI?!”

BGM berubah.

Dari musik JRPG kemenangan menjadi track boss battle cepat.

Denyut irama makin gila, seirama dengan napas panik Meridius.

Meridius masih berlari sekencang-kencangnya, napasnya berat, matanya menatap ke depan... lalu ke minimap... lalu ke depan lagi...

Kelinci-kelinci di belakangnya masih menebar maut dengan kecepatan absurd.

"TIDAK ADA JALAN KELUAR!"

Tiba-tiba—

FWOOSH.

Sebuah bayangan merah melewatinya dari samping.

Begitu cepat, dia bahkan tidak sempat melihat siapa—atau apa—itu.

Meridius berhenti sejenak, menoleh refleks.

Dan di sanalah dia melihatnya.

Ia adalah sosok perempuan elf—langsing, tinggi semampai, dan berjalan seolah tanah yang diinjaknya tidak pernah berani menahan napas.

Rambut pirangnya panjang, mengalir dari balik tudung merahnya seperti sungai emas yang lembut diterpa cahaya senja.

Kulitnya pucat bersih, khas elf, nyaris memantulkan cahaya, menciptakan aura tak tersentuh.

Wajahnya masih sebagian tersembunyi di balik hood merah darah—tapi dagunya yang tajam, bibir tipis dengan lekukan tenang, dan sepasang mata keperakan yang sekilas terlihat saat ia menoleh… cukup untuk membuat dunia seakan melambat.

Ia mengenakan set armor kulit berwarna merah tua, membalut tubuhnya dari bahu hingga paha, mengikuti lekuk tubuhnya tanpa membatasi gerakan.

Gaya pakaiannya seperti pencampuran antara assassin dan battle priestess—fungsional, tapi anggun.

Sarung tangan kulitnya dihiasi pola ukiran halus berwarna perak.

Sepatu bot setinggi betis dengan detail sabuk kecil membuatnya tampak siap beraksi kapan saja.

Di punggungnya, sebuah sabit besar merah bertengger tenang.

Ujung sabit itu berbentuk seperti salib terbalik yang menyatu dengan bilah lengkung, dan ukiran rune merah menyala samar di sepanjang gagangnya.

Tulisan muncul di atas kepalanya.

[Ikarosia]

Meridius mematung.

“…Hah? Player?”

Ikarosia mengangkat sabitnya ke arah kelinci-kelinci yang kini mengepungnya.

Tubuhnya tetap tenang.

Wajahnya tak terlihat di balik hood, tapi aura dari langkahnya menembus udara seperti tekanan dari boss raid.

Lalu, dia berbicara pelan—cukup keras untuk terdengar dari tempat Meridius berdiri.

“...Terlalu ribut. Tenanglah sebentar.”

SLASH.

Satu ayunan.

Cahaya merah membelah udara.

Dunia hening selama satu detik.

Dan kemudian—BOOM.

Puluhan kelinci terhempas ke udara dalam ledakan cahaya seperti percikan bintang. HP bar mereka lenyap serentak.

Gadis bertudung merah itu menari di medan perang.

Tebasan sabitnya brutal, cepat, dan penuh presisi.

Setiap ayunan menciptakan garis merah di udara, dan setiap garis itu berarti satu kelinci terbelah dua.

Gerakannya seperti pemain dengan ratusan—bahkan ribuan—jam permainan.

Tidak ada dodge. Tidak ada langkah mundur.

Semua lawan dihancurkan sebelum mereka sempat menyentuhnya.

Dalam hitungan detik, tanah yang tadinya dipenuhi ratusan Vorpal Rabbit kini sunyi.

Butiran cahaya beterbangan.

Efek visual EXP dan drop item membentuk hujan cahaya digital.

Gadis itu mengistirahatkan sabit merahnya ke punggung, lalu berdiri tegak—

siluetnya seperti Kematian yang sedang rehat.

Ia menoleh perlahan ke arah Meridius.

Matanya masih tersembunyi di balik tudung merahnya, tapi suaranya terdengar jelas:

“Newbie... kau seharusnya tak lari dari kelinci-kelinci itu.”

“Eh?”

Meridius hanya bisa melongo.

Otaknya belum bisa mengejar peristiwa barusan.

“Kau harusnya belajar dari mereka,” lanjut gadis itu.

“Gerakan mereka bisa dipelajari. Celahnya bisa dihitung.”

Dia mengangkat satu jari, menunjuk ke langit-langit kosong.

“Di game ini, tak ada shortcut.”

Lalu, dia berbalik dan berjalan menjauh.

Sebelum benar-benar pergi, dia menoleh sebentar, lalu berkata:

“Git Gud.”

“Itulah slogan dari game ini.”

Meridius masih berdiri diam.

Masih tidak paham.

Masih tidak percaya.

Tapi untuk pertama kalinya sejak login, dia merasakan sesuatu.

Secara refleks, dia berlari mengikuti gadis bertudung merah itu. Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan.

More Chapters