Hari itu, langit benar-benar berbeda.
Tak ada lagi pusaran hitam. Tak ada gemuruh petir ungu. Tak ada api, darah, atau bayangan yang mengintai dari balik kabut.
Hanya langit biru.
Dan sinar mentari yang hangat menari di antara dedaunan, menciptakan permainan cahaya di tanah yang dahulu bernoda pertempuran.
Sudah sebulan sejak akhir perang di Narthas. Dunia perlahan belajar bernapas kembali.
I. Surat dari Abbas
Abbas duduk di atas bangku kayu di depan pondok kecil di pinggiran kota Aurath. Ia menulis surat dengan tangan kiri tangan kanannya masih belum pulih sepenuhnya. Tapi tak masalah. Ia sudah tak tergesa-gesa lagi.
"Untuk siapa pun yang membaca ini suatu hari nanti," tulisnya, "ketahuilah bahwa dunia tidak berubah karena pahlawan. Dunia berubah karena orang-orang yang memilih untuk tidak membiarkan kegelapan hidup sendirian dalam diam."
Ia berhenti sejenak, lalu menatap lampu kecil di atas mejanya. Lampu Kehidupan.
Retakannya masih ada. Nyala dalamnya kecil. Tapi kini ia bersinar lembut, bukan karena kekuatan, melainkan karena kenangan.
"Aku bukan lagi prajurit. Tapi aku pernah menjadi seseorang yang percaya. Dan itu cukup."
Ia meletakkan pena. Menatap langit. Lalu tersenyum.
II. Elira dan Pohon Zhun
Di dataran utara Narthas, Elira berdiri di depan sebuah pohon muda. Pohon itu tumbuh dari tempat terakhir Zhun muncul.
Ia menanamnya sendiri. Setiap pagi, ia siram dengan air dari sungai kecil. Dan di malam hari, ia menceritakan kisah pada pohon itu tentang kakaknya. Tentang mereka. Tentang dunia yang terus berubah.
“Pohon ini,” katanya pada anak-anak yang berkumpul, “akan menjadi saksi bahwa bahkan bayangan bisa berubah menjadi cahaya, jika diberi kesempatan.”
Anak-anak mengangguk. Salah satu dari mereka bertanya, “Apa Zhun masih hidup?”
Elira tersenyum. “Dia hidup di sini.” Ia menunjuk dadanya. “Dan di setiap daun yang tumbuh dari pohon ini.”
III. Kaelus, Zera, dan Maelya
Di ibu kota Aurath, Kaelus diangkat menjadi Penjaga Agung Suci. Ia menolak mahkota dan istana, memilih tinggal di rumah kayu sederhana di tepi hutan. Tapi semua orang tahu, jika mereka butuh kebijaksanaan, mereka datang ke Kaelus.
Zera tidak lagi menjadi panglima. Ia membuka rumah pelatihan bagi anak-anak yatim yang kehilangan orang tua di perang. Ia mengajarkan mereka cara bertarung, bukan untuk membunuh... tapi untuk melindungi.
Dan Maelya ia pergi mengembara. Ia percaya bahwa dunia harus disembuhkan bukan hanya dengan sihir, tapi dengan mendengar kisah-kisah orang yang pernah kehilangan.
Tiga sahabat yang dulunya hanya senjata... kini menjadi penjaga kehidupan.
IV. Abbas dan Elira
Hari itu, saat matahari terbenam, Elira datang ke rumah kayu Abbas dengan membawa sekeranjang buah dan sehelai kain bersulam.
“Apa itu?” tanya Abbas.
Elira menaruh kain itu di pangkuannya. “Aku menyulam nama kita. Dan semua nama yang kita ingat.”
Abbas membentangkan kain itu perlahan. Tertulis nama: Zhun, Maelya, Zera, Kaelus, Elira, dan Abbas. Di bawahnya“Kita pulang bukan karena menang. Tapi karena memilih untuk tidak pergi sendirian.”
Abbas menatap Elira. “Kau masih ingin bertarung?”
Elira menggeleng. “Tidak. Aku ingin menanam. Menyembuhkan. Dan... mencintai.”
Mereka saling diam.
Lalu... Abbas menggenggam tangan Elira.
“Kalau begitu, tetaplah di sini.”
V. Tiga Tahun Kemudian
Dunia telah berubah.
Narthas kini menjadi kota taman. Tidak ada tembok tinggi. Tidak ada patung pahlawan besar. Hanya taman-taman luas, pohon-pohon tinggi, dan patung kecil seorang anak laki-laki memegang lampu dikelilingi oleh burung-burung besi yang rusak.
Itu adalah Tugu Harapan.
Dan setiap tahun, di hari yang sama, orang-orang berkumpul di situ untuk menyalakan lentera kecil. Bukan untuk mengenang perang. Tapi untuk mengenang mereka yang tetap percaya meski dunia berkata sebaliknya.
Anak-anak akan duduk di rerumputan dan mendengar kisah tentang seorang pemuda bernama Abbas yang menemukan sebuah lampu, dan seorang wanita bersayap yang menuntunnya pulang.
VI. Surat Terakhir
Suatu pagi, Abbas duduk di dalam rumahnya, menulis surat terakhir. Kini rambutnya mulai beruban, dan matanya sudah tidak sejernih dulu. Tapi tangannya masih kuat.
"Jika kau menemukan Lampu Kehidupan, jangan harap ia memberimu kekuatan. Ia tidak dirancang untuk itu. Lampu ini... adalah cermin. Ia hanya menyala bila kau mengingat siapa yang kau lindungi. Bukan apa yang kau lawan."
"Aku telah menyentuh kegelapan. Tapi aku juga memeluk cahaya. Dan kupikir, itu cukup. Dunia tidak butuh pahlawan baru. Hanya butuh orang-orang yang mau tetap mencintai, ketika yang lain memilih membenci."
Ia menutup surat itu, lalu meletakkannya di dalam lampu yang kini bersinar tenang.
VII. Penutup
Malam itu, ketika Elira telah tertidur, Abbas duduk sendirian di bawah pohon ceri yang sedang berbunga. Lampu Kehidupan berada di pangkuannya, menyala tenang seperti jantung yang bersabar.
Ia menatap langit. Lalu berkata pelan, seperti berbicara pada sesuatu atau seseorang.
“Kalau ini benar-benar akhir... maka aku ingin pulang. Bukan karena aku tak mencintai tempat ini. Tapi karena aku tahu, aku harus hidup... di mana aku berasal.”
Dan saat ia mengucapkan itu, Lampu Kehidupan mulai bersinar terang. Lebih terang dari sebelumnya.
Udara bergetar. Waktu melambat.
Elira terbangun, menatapnya dengan bingung. “Abbas...?”
Abbas berdiri, perlahan. Ia tersenyum pada Elira senyum yang dalam dan penuh rasa syukur.
“Terima kasih,” katanya. “Kau menyelamatkanku. Lebih dari yang bisa kubalas.”
Elira menggenggam tangannya. “Jangan lupakan kami.”
Abbas mengangguk. “Aku tidak akan pernah lupa. Dan kalau suatu hari... aku bisa kembali, aku akan mencarimu.”
Cahaya melingkupi tubuhnya.
Dan dalam sekejap Abbas menghilang.
Dunia Nyata
Suara bising jalanan. Aroma kopi basi. Lampu-lampu kantor yang tak pernah padam.
Abbas terbangun di atas bangku taman kota. Tubuhnya lunglai, dan di tangannya... sebuah lampu tua, berkarat, tak menyala.
Ia menatap sekeliling.
Mobil-mobil melintas. Burung-burung liar berseliweran di kabel. Tapi ada sesuatu yang berbeda.
Dirinya.
Ia bukan lagi Abbas yang kehilangan arah. Ada ketenangan dalam dadanya. Ada nyala lembut yang tidak bisa dijelaskan.
Dan ketika ia berdiri, lampu di tangannya... memancarkan sekelip cahaya hangat, lalu padam lagi.
Ia tersenyum.
“Baiklah, dunia. Ayo kita mulai dari awal.”
Penutup Sejati
Kadang, dunia yang kita tinggalkan bukanlah dunia yang kita benci, tapi dunia yang belum kita mengerti. Dan kadang, perjalanan ke dunia lain bukan untuk kabur
tapi untuk kembali dengan sesuatu yang lebih: harapan.
TAMAT
Lampu Kehidupan adalah kisah tentang perjalanan, kehilangan, dan keberanian untuk mencintai meski telah hancur berkali-kali. Karena dalam dunia yang nyaris padam, cinta... adalah cahaya yang terakhir dan terkuat.