Lintasan Nol.
Bukan sekadar ruang kosong di antara dimensi. Tapi tempat di mana waktu tak punya arah, dan semua kemungkinan yang pernah ditolak oleh takdir—berkumpul, bergema, dan terkadang… melawan.
Hanya segelintir penjaga waktu yang pernah ke sana.
Dan hanya sedikit yang kembali… waras.
---
“Kita akan menyusup malam ini,” kata Reina di ruang strategi.
Di hadapan Rania, Arven, Elvaron, dan Nazer, terbentang peta retakan waktu yang terus bergerak meskipun tak disentuh.
“Lintasan Nol bisa terbuka dalam waktu enam jam. Tapi kita hanya punya satu kesempatan. Setelah itu, jalur menuju sana akan tertutup… selama 13.000 tahun.”
Rania menatap pusaran hitam di tengah peta. “Apa yang kita cari di sana?”
Nazer menjawab pelan. “Akar pertama dari Bayangan Keempat. Sebuah sisa memori yang tidak diterima waktu.”
“Dan… seseorang,” lanjut Reina dengan ragu.
Rania memalingkan pandangan. “Siapa?”
Reina diam. Tapi Elvaron berkata pelan, “Seseorang dari masa lalumu, Rania. Yang seharusnya tidak hidup… tapi di Lintasan Nol, mereka bisa muncul kembali.”
---
Malamnya, tepat saat jam utama Auralis berdetak ke-13 secara tidak wajar, tim ekspedisi waktu berkumpul di halaman suci.
Rania mengenakan jubah waktu putih keperakan, gelangnya menyala tenang.
Nazer di sisi kirinya, menggenggam kompas waktu warisan masa depan.
Arven dan Elvaron berdiri mengapit pintu dimensi, siap menjaga sisi kanan dan kiri jalur waktu.
Reina mengangkat tongkat kristal, membuka celah.
Cahaya hitam muncul. Bukan kegelapan kosong, tapi kegelapan yang hidup.
“Langkahi hanya dengan niat bersih,” pesan Reina. “Kalau kalian ragu… kalian akan hilang.”
Rania melangkah lebih dulu. Nazer mengikuti.
Dan begitu Elvaron dan Arven masuk…
Pintu tertutup.
---
Di dalam Lintasan Nol, dunia tampak seperti bayangan air yang terus bergerak—semua tempat yang pernah ada bercampur jadi satu.
Mereka berdiri di tengah jalan batu, tapi di sisi kiri mereka tampak istana yang runtuh, sementara di sisi kanan… pasar malam masa depan dengan cahaya biru pucat.
“Ini… tidak punya logika,” bisik Nazer.
“Di sinilah waktu menyimpan kemungkinan-kemungkinan yang tidak terjadi,” kata Rania.
Suara pelan mulai terdengar.
> “Mengapa kau tidak memilihku…”
> “Aku bisa menjadi segalanya untukmu…”
> “Mengapa kau biarkan aku mati…”
Rania terdiam.
Suaranya… seperti dari seseorang yang ia kenal.
Langkah kaki mereka terhenti saat sosok muncul dari kabut.
Seorang lelaki muda… bersenjata busur cahaya. Rambutnya gelap, sorot matanya tajam.
Dan Rania nyaris roboh saat mengenalinya.
“Kael…?”
Tapi bukan Kael yang sekarang. Bukan Kael si musuh waktu.
Ini adalah Kael muda, sebelum luka, sebelum kejatuhan.
Kael itu tersenyum kecil. “Jadi akhirnya kau sampai juga di sini.”
Arven segera siaga. Tapi Rania menahannya.
“Ini bukan dia,” katanya pelan. “Ini… adalah Kael sebelum memilih jalan gelapnya.”
Kael muda menatap Rania lama.
“Aku masih ingat hari itu,” ucapnya pelan. “Kau hampir tenggelam di danau waktu. Aku menyeretmu keluar… dan untuk sesaat, aku pikir aku bisa menjadi seseorang yang pantas untukmu.”
Rania menahan napas.
> “Tapi aku bukan pilihanmu, bukan?”
Rania menjawab dengan suara bergetar, “Kau adalah bagian dari takdirku… tapi bukan akhir dari kisahku.”
Kael muda menunduk. “Aku tahu.”
Ia kemudian memberi mereka sebuah fragmen kristal hitam.
“Bayangan Keempat tumbuh dari rasa ‘tidak dipilih’. Dari semua yang tertolak, tertinggal, dan ditinggalkan oleh waktu.”
“Kau akan menemukannya… di ruang cermin.”
Dan saat mereka menoleh ke arah cahaya…
Kael muda telah menghilang.
---
Perjalanan berlanjut.
Di ujung Lintasan Nol, mereka menemukan sebuah bangunan melayang: Ruang Cermin Takdir.
Dindingnya terbuat dari refleksi peristiwa yang tak pernah terjadi: Rania hidup sebagai petani, Arven mati muda, Reina menikahi Elvaron.
Dan di tengah ruangan…
Sebuah sosok berdiri.
Ia tanpa wajah. Tapi tubuhnya penuh kilatan cahaya yang menyedot realitas.
Bayangan Keempat.
Rania dan Nazer langsung bersiap. Elvaron memanggil pedang waktu. Arven mengangkat perisai sihirnya.
Tapi sosok itu hanya bergumam.
> “Kalian semua adalah kebetulan. Dan aku… adalah keheningan yang menuntut akhir.”
Lalu…
Ruang mulai pecah.
Rania berteriak, “Tutup jalurnya, sekarang!”
Tapi Nazer terpaku. Ia melihat sesuatu di balik sosok Bayangan: seorang wanita yang wajahnya mirip Rania… menangis sambil menggendong bayi.
Rania menarik Nazer ke belakang.
Dan sebelum segalanya runtuh, Elvaron melempar Kristal Pemutus, dan cahaya mengantar mereka keluar dari Lintasan Nol.
---
Mereka terlempar ke tengah aula utama Auralis dengan tubuh tercampak, lelah, dan terguncang.
Tapi mereka hidup.
Dan mereka tahu satu hal:
> Bayangan Keempat telah bangun.
Dan ia tahu… nama Rania.