Cherreads

Chapter 4 - Bab 4 – “Gulat, Gubuk, dan Seekor Ratu Bernama Isabella”

'Beberapa shinobi melawan badai dengan jutsu petir.

Beberapa cukup gulingkan badai itu ke tanah dan patahkan lehernya.'

Mungkin itu description yg tepat untuk menyatakan Uchiha Hilda.

Pagi itu langit cerah, tapi hati Uchiha Aren terasa sedikit gelap. Bukan karena ancaman perang, bukan pula karena serangan dari klan barbar. Tapi karena sesuatu yang lebih sederhana, lebih memalukan—misi pertamanya adalah membangun rumah untuk seekor kucing.

Kucing.

Dan bukan sembarang kucing.

Isabella.

Isabella adalah seekor kucing anggora putih, dengan bulu sehalus kabut dan mata biru yang menusuk seperti es dari Pegunungan Utara. Ia bukan binatang peliharaan biasa. Ia adalah summon kontrak dari klan Uchiha, dikenal memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan konon dapat berbicara jika ia mau (walau belum ada yang bisa membuatnya bicara... kecuali mungkin Ganja).

Sebagai salah satu familiar suci, Isabella tidak tinggal sembarangan. Ia memerlukan tempat tinggal khusus yang “layak bagi darah bangsawan”—begitu menurut surat dari Dewan Tetua.

Dan misi pembangunan rumah itu... diserahkan kepada Aren.

Tapi bukan sendirian.

Tidak.

Dia ditemani oleh satu orang lagi.

Seseorang yang lebih mirip banteng daripada manusia.

Suara berat itu menggema bahkan sebelum tubuhnya muncul. Langkah kaki seperti petarung sumo. Debu beterbangan ketika Uchiha Hilda memasuki arena latihan luar.

Aren membalikkan badan—dan seperti biasa, lehernya harus sedikit mendongak.

Hilda, meskipun baru berusia tujuh tahun seperti dirinya, sudah mencapai tinggi 190 cm. Rambut hitamnya dikepang dua dan menjuntai ke bahu, wajahnya bulat tapi keras, seperti wajah petarung yang bisa menelan shuriken dan memuntahkannya kembali ke musuh.

Bajunya ketat. Terlalu ketat. Sepertinya dia baru saja membanting sapi di belakang rumah untuk pemanasan.

“Dengar-dengar kita ditugasin bareng, ya? Misi rumah kucing?” serunya riang, seperti anak kecil yang baru mendapat mainan tinju baru.

Aren hanya mengangguk pelan. “Iya…”

“Keren banget! Aku suka binatang! Tapi aku lebih suka adu panco!”

Aren mencoba mengangkat dua papan kayu panjang yang akan menjadi dinding rumah kecil Isabella. Tapi Hilda dengan santainya mengangkat seluruh kerangka pondasi di pundaknya, seperti sedang membawa bantal tipis.

“Mau adu angkat beban gak, Ren?” tanya Hilda sambil tersenyum lebar.

Aren menelan ludah. “Aku… pass. Nanti saja. Kalau aku tidak remuk.”

Saat mereka bekerja, Hilda mulai bercerita tentang insiden terkenal yang nyaris membuat dua klan besar saling bunuh.

“Waktu itu aku cuma mau main ke taman latihan bareng adikku. Terus ada anak Hyuga sok banget nyamperin aku dan bilang: ‘Uchiha cuma bisa main api, otot kalian lemah’. Dan ya... aku banting dia.”

Aren berkedip. “Anak Hyuga?”

“Anak utama.”

Diam. Hening.

“Kepalanya...?” tanya Aren pelan.

“Masih ada, tenang. Cuma bahunya copot.”

Aren menatap papan kayu di tangannya, lalu ke tangan Hilda. Ia merasa sedang membawa sebatang lidi di hadapan pemilik pohon beringin.

“Uzumaki turun tangan. Mereka pikir kalau Uchiha dan Hyuga perang, sistem dagang bakal anjlok. Katanya mereka netral. Tapi ayahmu bilang netralnya mereka itu… kapitalis.”

Ganja memberi perintah langsung tadi pagi:

“Buatkan rumah untuk Isabella. Tak perlu istana. Tapi jangan bikin kandang. Dia kucing, bukan sapi. Ukurannya harus cukup untuk lima kali putaran tidur siang. Dan ventilasi harus cukup untuk napas tanpa kering bulu.”

Itu artinya…

• Panjang 80 cm

• Lebar 60 cm

• Atap melengkung (Isabella tidak suka sudut tajam)

• Jendela kecil (Isabella suka menatap orang dengan jijik dari dalam rumah)

Mereka bekerja berdua. Aren mendesain dan mengukur. Hilda memaku, mengangkat, dan membentuk rangka seperti membentuk boneka kertas.

Dan... dalam dua jam...

Gubuk kecil berwarna gelap itu selesai.

Dinding kayu hitam, lantai empuk dari sabut, atap dari anyaman jerami khusus anti-air, dan jendela bundar seperti rumah hobbit mini. Hanya saja, ini milik kucing.

Isabella datang—atau lebih tepatnya, muncul begitu saja dari balik semak.

Ia melangkah anggun, bulunya berkilau di bawah cahaya pagi, dan setiap langkahnya seperti koreografi seorang bangsawan. Ia menghampiri gubuk, mengendus... melangkah masuk.

Diam.

Lalu ia duduk, memutar badan tiga kali, dan tidur.

“Itu pujian tertinggi dari Isabella,” ujar suara di belakang mereka.

Ganja berdiri di pinggir arena, tangan bersilang. Matanya memandang gubuk. “Dia tidak menghancurkannya. Itu artinya dia... setuju.”

Hilda bersorak kecil. “YES!”

Setelah selesai, Hilda mendekat sambil tersenyum lebar. “Ren... ayo sparring ringan. Bukan serius. Aku janji nggak akan banting keras.”

Aren ingin bilang tidak. Tapi suara di hatinya berkata: "Kalau kamu mau bertahan di klan ini... kamu harus bisa menghadapinya suatu hari."

Mereka berdiri. Aren pasang kuda-kuda memanah. Hilda membungkuk, tangan terbuka lebar.

Aren menarik panah kayu tumpul—sengaja, untuk latihan.

FWOOSH!

Panah melesat—tapi Hilda menepisnya dengan pundak, lalu menubruk Aren seperti banteng liar.

“WAAH!”

Brak!

Dalam sepersekian detik, dunia Aren berputar. Ia dibanting ke tanah seperti karung beras. Matanya berputar. Hilda di atasnya, tertawa sambil menarik tangannya.

“Kau cepat, tapi kurang berat badan. 20 kilo lagi, baru seimbang.”

Aren tersenyum kecut. “...Kau tidak janji nggak banting?”

“Janji nggak banting keras,” jawabnya sambil tertawa.

“Dia monster. Tapi bukan monster jahat.”

“Aku tak bisa mengalahkannya sekarang. Tapi aku bisa belajar cara berpikir di luar kekuatan fisik. Aku bisa jadi panah yang menusuk tepat saat lawan membuka satu celah.”

“Satu panah… satu lubang… satu kemenangan. Tapi kali ini, aku adalah lubangnya.”

"Hari ini aku belajar dua hal penting:

Pertama, rumah yang bagus bisa menenangkan kucing yang bisa bunuhmu dalam tidur.

Kedua, ada jenis kekuatan yang tak bisa dilawan dengan panah. Tapi bisa diamati, dipahami… dan diatasi nanti."

More Chapters