Suatu sore, saat matahari mulai turun perlahan di langit barat, Rangga duduk di serambi pondok. Angin sejuk mengusap wajahnya, tapi hatinya justru terasa berat. Bukan karena lelah fisik, tapi karena ada sesuatu yang belum selesai di dalam dirinya—keluarga.
Sejak kecil, rumah tak pernah benar-benar terasa sebagai tempat pulang. Pertengkaran, perpisahan, dan ketidakpastian membuat Rangga merasa asing bahkan di tengah orang yang disebut keluarga. Itu sebabnya, jalanan dan warnet dulu terasa lebih nyaman. Di sana, meski keras, ia bebas. Tak ada tuntutan, tak ada luka yang diingat-ingat.
Namun, hidup di pesantren mengubah cara pandangnya. Ia belajar tentang memaafkan, tentang sabar, dan tentang pentingnya menjaga silaturahmi. Ia melihat bagaimana Abah dan Mimih memperlakukan setiap anak jalanan seperti keluarga. Dan di situ ia mulai berpikir:
"Kalau orang lain bisa nerima gue seutuhnya, kenapa gue gak coba nerima mereka juga?"
Malam itu, ia memberanikan diri mengambil ponsel pesantren, dan menghubungi ibunya. Suara yang sudah lama tak ia dengar terdengar ragu-ragu di ujung sana.
"Rangga...? Ini kamu?"
Ia tak bisa langsung menjawab. Ada tangis yang tertahan di dadanya.
"Iya, Bu... ini aku."
Percakapan itu tak lama. Tapi cukup untuk membuka pintu yang sudah lama tertutup. Sejak saat itu, ia mulai rutin berkabar. Kadang cuma bertanya kabar, kadang hanya mengirim pesan singkat, "Jaga kesehatan ya, Bu."
Hari-hari berikutnya, Rangga sadar: jalan pulang bukan selalu soal tempat. Kadang, jalan pulang itu adalah saat kita berdamai dengan masa lalu, membuka hati untuk memaafkan, dan memilih untuk kembali bukan karena terpaksa, tapi karena sudah waktunya.
Dan pondok ini... adalah bagian dari jalan pulangnya juga.