Kertas kontrak, sesuai namanya, kertas itu biasa dimiliki oleh orang-orang yang hendak membuat kontrak, baik itu kontrak yang seimbang maupun berat sebelah seperti kontrak budak.
Bagaimana bisa sebuah kertas kontrak dapat mengikat seorang pemilik miracle? Itu karena tinta yang digunakan untuk menulis isinya dibuat dengan campuran darah ular laut yang terkenal.
Salah satu dari 7 keajaiban dunia baru.
Jika seseorang melanggar kontrak, ia akan kehilangan miracle hingga nyawanya sendiri.
Arvani mengangguk paham atas penjelasan singkat yang diberikan oleh Rian.
Tangan perempuan berambut hitam itu memegang kertas kontrak yang menjelaskan bahwa Rian akan mengikuti semua perintah Arvani dengan syarat Lena akan dibiarkan hidup.
"Aku setuju."
Kini Rian dan Arvani hanya perlu meneteskan darah mereka di atas kertas. Terdapat sedikit reaksi berantai di mana kertas kontrak itu tiba-tiba melayang dan terbakar oleh api biru. Sesaat, Arvani merasakan sesuatu pada tangan kirinya yang ketika dilihat tidak ada apa-apa.
"Ini doang? Gampang banget. Ku kira bakalan ribet kayak bikin KTP— hoaaam~"
Arvani menutup mulutnya saat ia menguap.
"..."
Ujung mata Rian melirik Lena yang mulai menunjukkan tanda-tanda akan sadar.
"Permisi, Tuan Arvani. Apa boleh saya mengantarkan Lena menuju pos penjaga? Saya bersumpah tidak akan melarikan diri ataupun melakukan tindakan yang mencurigakan."
Arvani yang sedang duduk di atas batu dengan kaki disilangkan serta tangan kanan yang menopang dagu termenung sejenak. Dia sudah mulai mengantuk dan otaknya yak dapat berpikir sebagai mana mestinya.
"Bawakan aku bantal kalau pulang."
"... Baik." Rian tak tahu harus membalas seperti apa.
Begitu Rian mengendong tubuh Lena, pria itu langsung melesat menuju pos penjaga. Menyaksikan kecepatan hewan peliharaannya membuat Arvani bersiul kagum.
"Kensei ... Aku ngantuk. Tolong jagain dong."
"Kau pikir sedari tadi aku sedang tidur hah?! Jangan sampai kau tertidur, sudah ada musuh yang mengawasi dari kejauhan, wanita bodoh," Balas Kensei ketus.
Dengan malas Arvani menoleh ke arah yang dilihat Kensei. Jujur, dia tidak melihat atau merasakan hawa keberadaan siapapun.
Sementara itu. Di sebuah bukit yang agak jauh dari lokasi Arvani beristirahat.
"Sialan! Ketua, sepertinya Kelinci Merah itu sudah mengetahui keberadaan kita!"
Seorang pria dengan senapan jarak jauh bergegas turun dari tempatnya bersembunyi. Pria itu mengenakan pakaian serba hitam dengan kacamata yang dapat mendeteksi hawa panas.
"Apa kau yakin akan hal itu, Leo? Jarak posisimu dengan posisi Kelinci Merah itu 3 kilometer loh. " Pria lain yang dipanggil ketua itu bertanya dengan nada santai.
"Aku yakin ketua, dan lagi, apa anda tidak merasa aura mengerikan yang keluar dari tubuh Kelinci Merah itu? Kita harus segera mencari tempat lain."
"Tidak perlu. Kelinci Merah itu hanya akan bergerak jika kita menyerang lebih dahulu. Untuk sekarang, kita awasi saja dari jauh. Ingat, sebagai anggota Salus kita memiliki tangung jawab untuk membuat kompetisi Hunter of Tower berjalan sebagaimana mestinya."
"Baik, ketua!" Sniper pria itu mengangguk dengan tatapan penuh tekad.
Kembali ke sisi Arvani. Perempuan itu masih dalam posisi yang sama dan sedang menunggu Rian membawakannya bantal. Malam hari yang semakin gelap, mata kiri yang hilang dan digantikan oleh Kensei serta topeng kelinci merah yang dipakai Arvani, membuat perempuan itu tak dapat menggunakan pengelihatannya.
Karena sudah mengantuk, Arvani pun menyandarkan punggungnya. Tangan kirinya dengan malas mengeluarkan ponselnya, berniat mencari hiburan seperti orang-orang pada umumnya.
Tuk!
"Akh!" Perempuan itu sedikit terkejut kala cahaya dari layar ponsel yang terlalu terang hingga membutakan matanya sesaat.
"Wanita bodoh, kau mau memberitahu lokasimu pada musuh?!"
Kensei berteriak kesal dan memukul kepala Arvani walau pukulan itu takkan berefek sedikitpun.
"Maaf."
Setelah mengatur ponselnya dalam moda malam, Arvani mulai membuka sebuah aplikasi yang sering dipakai orang-orang untuk menonton sesuatu yang menarik. Arvani awalnya sedikit bingung harus mencari acara apa untuk ditonton.
Selang beberapa saat perempuan itu pun iseng mengetik kata 'anjing gila' mengingat Monster jenis inilah yang sering dihadapi Arvani ketika berada di kota Gotan. Detik berikutnya muncul ribuan video yang menampilkan tips dan trik untuk menghadapi monster jenis ini.
Arvani menonton video tersebut secara bergantian sampai dirinya melihat satu video yang kisah seorang Top Tier Hunter dengan kematian yang cukup tragis. Hunter ini bernama Kayril. Miraclenya adalah miracle jenis pengendalian yang membuat Kayril dapat mengendalikan monster selama monster tersebut kekuatannya berada di bawahnya.
Dalam video dijelaskan bahwa kematian Kayril berasal dari keegoisannya sendiri yang berniat mengendalikan sesosok ular berusia ratusan tahun yang hampir mengalami evolusi menjadi naga. Ular tersebut diceritakan mampu menghipnotis lawannya.
Singkat cerita Kayril mati akibat dimakan hidup-hidup oleh monster yang ia kendalikan sendiri.
Arvani mendengus pelan. "Omong kosong."
Dalam waktu singkat Arvani menyadari bahwa kematian Kayril diakibatkan oleh penghianat rekan setimnya. Bagaimana Arvani bisa mengetahuinya? Itu karena Arvani bisa melihat dengan jelas niat busuk pada wajah rekan-rekan Kayril.
Berterima kasih pada Daniel yang mengetahui kemampuan terpendam Arvani ini. Ardi dan Mariposa lah yang mengajari cara mengasah kemampuan membaca wajah milik Arvani.
Angin sepoi-sepoi berhembus dan bersamaan dengan itu Rian datang. Pria berambut pirang itu berlutut dengan satu kaki sebagai tumpuan di hadapan Arvani.
Arvani memiringkan kepalanya heran. "Gak usah sok hormat begitu. Biasa aja."
Rian mengangguk. Ia lalu memberikan sebuah bantal empuk yang ia beli menggunakan poin di pos penjaga.
"Oh! Kerja bagus, dengan begini tidurku jadi lebih nyenyak!"
Hampir saja Rian ingin berteriak dan mengatakan bahwa sekarang bukan waktu yang tepat untuk tidur. Namun, jika ia pikir-pikir kembali, hanya orang-orang bodoh yang mau menghabiskan tenaga mereka di hari pertama tantangan. Mereka masih punya 9 hari lagi yang harus di lalui.
"Pantas saja Tuan Arvani ini sangat santai. Beliau sudah memikirkan cara bertahan hidup di tempat ini!" Dalam pikirannya Rian takjub kepada Arvani.
Harusnya ia tidak mengikuti ucapan saudara kembarnya untuk bergerak membunuh sebanyak mungkin musuh dan mengamati dalam kegelapan. Seharusnya dari awal ia tidak menuruti permintaan saudarinya.
"Baiklah , kalau begitu tugas pertamamu sebagai anjing penjaga adalah ber—"
Ucapan Arvani terhenti karena Kensei yang tiba-tiba memiringkan kepala perempuan itu ke samping.
Duk!
Suara kecil dari benturan antara besi dan batu dibelakang Arvani terdengar. Mata hitam perempuan itu melirik kebelakang dan menemukan bekas tembakan peluru.
"Anjir! ternyata peluru senyap itu benar-benar ada ya," pikir Arvani kagum sekaligus ngeri.
Untuk saja topeng kelinci merah yang ia kenakan membuat orang lain tak dapat melihat ekspresi Arvani dengan jelas. Perempuan berambut hitam itu langsung menatap tajam arah tembakan tadi berasal.
'Sial, aku gak bisa lihat apa-apa. Kensei, aku serahkan sisanya padamu ya. Gunakan saja teknik itu.'
Kensei yang awalnya memasang wajah datar langsung memasang senyuman lebar.
"Jiwa mereka akan jadi milikku loh."
'Suka-sukamu saja. Aku sudah tidak tahan ingin tidur.'
"Oke~"
Kensei menyibakkan rambutnya ke belakang sambil menyeringai lebar. Aura membunuhnya keluar dan membuah siapapun di dekatnya merinding hebat. Rian yang masih berada di dekat sana kembali membeku ketakutan.
"[Rohwaris.]"