"Arg! Sakit banget!"
"Berhenti mengeluh, wanita bodoh." Kensei yang mulai sebal dengan Arvani pun memukul kepala perempuan berambut hitam itu.
"Agh!" Arvani berpura-pura seolah pukulan itu memiliki efek pada dirinya.
Saat ini, Arvani, Kensei, dan juga dua orang berjenis kelamin berbeda yang menyerangnya tadi berada di dekat bukit berbatu tinggi. Tempat ini juga tersembunyi diantara pepohonan kering.
Di area tantangan ini memiliki waktu siang malam dan sekarang adalah malam hari, waktu yang cocok untuk melakukan serangan dadakan atau semacamnya.
Setelah menahan sakit pada punggung bawah kirinya yang diperban, Arvani menatap kedua saudara kembar tersebut. Kensei bilang seorang pemilik miracle memiliki kemampuan penyembuhan yang lebih baik dari orang normal. Maka dari itu dia biarkan saja luka milik Lena dan Rian tetap terkena udara segar.
Dia juga masih kesal karena di tusuk dari belakang. Namun, yang tidak diketahui Arvani adalah, proses penyembuhan itu berbeda-beda tergantung seberapa kuat si pemilik miracle.
Luka tebasan besar yang dialami Lena mungkin memang masalah kecil bagi Kensei tapi tidak dengan orang lain.
Untuk masalah racun, Arvani dapat mengatasinya dengan mudah berkat pengalamannya. Perempuan itu sudah hidup 10 tahun lebih dengan mengkonsumsi beragam tanam beracun.
Arvani berdiri dan mulai melakukan pemeriksaan terhadap dua tubuh tersebut. Ia mengambil barang-barang yang sekiranya bisa diambil.
Kensei segera memalingkan pandangannya ketika Arvani dengan santai membuka pakaian Lena.
"Saranku lebih baik kau berikan beberapa luka pada kaki yang pria agar ketika bangun dia tidak langsung kabur."
"Oh, ide bagus. Sebentar."
Arvani menemukan pisau hitam beracun yang digunakan oleh Rian. Dengan santai, perempuan berambut hitam itu menusukkan pisau tersebut pada kedua punggung kaki Rian.
Untuk Lena, wanita itu memiliki luka yang cukup besar jadi ia akan kesulitan bergerak begitu bangun. Lebih tepatnya dia tidak akan bangun jika tak segera diberi pertolongan.
"Hmm... 5 pisau hitam beracun, 2 kotak p3k, 2 ponsel, beberapa ransum, dan 2 botol air. Perbekalan mereka lumayan banyak juga," ucap Arvani yang selesai merampok keduanya.
"Itu membuktikan bahwa mereka sudah mendapatkan pelatihan militer, tapi mereka mungkin hanya anggota terlemah," komentar Kensei.
"Militer ya ... Apa kau ingat pemilik miracle dengan lambang bunga sakura yang menyerang ku di kota Gotan? Apa mereka akan menjadi penghalang?"
Mendengar itu, Kensei termenung sejenak. Dia kembali teringat akan tanah kelahirannya. Tempat orang-orang yang seenaknya membuat jiwanya menjadi bahan bakar alternatif.
Tanpa sadar Kensei tertawa kecil. "Tidak perlu memikirkan mereka untuk sekarang."
.
.
.
Panas. Itulah hal pertama yang Rian rasakan begitu kesadarannya perlahan kembali. Tepat ketika ia membuka mata, Rian menyadari bahwa dirinya telah gagal membunuh Sang Kelinci Merah.
Ketika ujung matanya melihat penampakan sang kelinci merah yang duduk manis memakan ransum Rian sontak bangkit dan melompat menjaga jarak. Gerakan tiba-tiba itu tak hanya membuatnya pusing, itu juga membuat tubuhnya ambruk.
Sensasi panas dan sakit terkumpul pada kedua kakinya.
"Sial, Kelinci Merah ini memasukkan racun pada lukaku," batinnya.
Rian juga dikejutkan dengan saudara kembarnya, Lena, yang tergeletak tak sadarkan diri di dekat Kelinci Merah.
'Gawat, aku harus kabur tapi, tubuhku tak sanggup untuk berlari!'
Di sisi lain, Arvani yang sedang menikmati rasa manis dan tekstur keras dari biskuit ransum milik Rian bersiul kagum dalam hati.
'Hebat juga dia. Masih sanggup berlagak sok keren padahal buat berdiri saja pasti sakit.'
'Hei, menurutmu berapa lama dia bisa bertahan?' Arvani bertanya pada Kensei tanpa menoleh.
Kensei memperhatikan pria berambut pirang itu lalu mendengus pelan. "Paling 5 menit sampai racunnya menyebar."
Arvani pun memutuskan untuk kembali menikmati biskuitnya. Mengabaikan Rian yang sibuk memikirkan harus kabur sendirian atau bersama Lena yang sedang tak sadarkan diri.
Apapun yang akan dipilihnya, Rian menebak bahwa Arvani akan dengan mudah membunuh dirinya dan Lena, mengingat Arvani memiliki seluruh peralatannya. Padahal, Arvani sendiri sudah tidak berniat membunuh kedua saudara kembar tersebut.
Srak!
Bersamaan dengan suara rumput ilalang yang diinjak, seekor panter hitam langsung menyergap Rian dan membuat pria berambut pirang itu terdorong menjauh dari tempat Arvani duduk.
Monster tersebut merupakan evolusi dari panter hitam yang membuat tubuhnya dapat mengeluarkan asap hitam untuk menghalangi pengelihatan musuh.
Grrr!
Panter itu mengeram ke arah Arvani. Perempuan itu sendiri tak langsung mengambil senjata dan asik menghabiskan makanannya. Ketika biskuit yang dimakan habis, barulah Arvani berdiri. Suara auman panter terdengar dan Arvani hanya berdiri menatap monster tersebut dalam diam.
"Wanita bodoh ..." Kensei memanggil, "kau terlalu takut sampai tidak tahu harus berbuat apa ya?"
"Iyaa," balas Arvani seraya menangis diam-diam.
Kensei menghela nafas lelah. Dia sudah tahu jadinya akan begini. Walau menjadi sedikit lebih kuat, Arvani tetaplah perempuan lemah yang bisa mati jika terkena serangan kecil dari monster tingkat tinggi.
Namun, sejauh ini Kensei melihat bahwa Arvani selalu bisa terhindar dari marabahaya besar. Ibarat kata, ia seperti daun kering yang terus diterbangkan angin untuk menjauh dari kobaran api. Kensei sadar bahwa dirinya merupakan salah satu angin yang mengamankan Arvani.
"Menyebalkan," gumam pria berambut putih tersebut.
Perlahan tubuhnya yang transparan mulai terlihat. Kensei pun mengeluarkan aura membunuh yang begitu kental pada panter hitam tersebut, membuat si kucing besar mengerang lalu menjauh.
"Hah, itu tadi hampir saja." Arvani akhirnya bisa menghela nafas lega.
Kensei menatap telapak tangannya. Energi yang ia kumpulkan terus terkuras ketika berada di dalam tubuh Arvani.
"Jika aku mengatakan yang sebenarnya, wanita lemah ini malah akan menyusahkan ku kedepannya," pikir Kensei frustasi.
"Uhuk!"
Suara batuk seseorang itu menarik perhatian Arvani. Itu dari Rian yang sudah susah payah kembali setelah didorong oleh panter hitam tadi.
Dari tempatnya terpental tadi, Rian dapat merasakan hawa membunuh yang begitu mengerikan. Hawa yang sama dengan yang membuatnya membeku ketakutan.
"Hawa membunuhnya bahkan mampu mengusir panther hitam... Aku dan Lena sudah salah menilai Kelinci Merah ini," pikir Rian berkeringat dingin.
"Oh, kau masih hidup ternyata. Kenapa gak kabur?"
Pertanyaan yang dilontarkan tanpa pikir panjang oleh Arvani itu mampu menusuk harga diri Rian.
Bruk!
Pria berambut pirang itu berlutut. "Tolong ampuni nyawa Lena! Kau boleh melakukan apa yang kau padaku tapi tolong ampuni nyawa saudariku!"
"Owh, hubungan persaudaraan yang bagus," ujar Kensei yang kembali ke mode hantunya.
Hampir saja Arvani menolak tawaran Rian, namun, kalau dipikir-pikir lagi, ia bisa menjadikan Rian sebagai anak buahnya. Di kebanyakan film yang Arvani tonton, biasannya tokoh utama akan memiliki seorang anak buah setia layaknya anjing penjaga.
"Tidak masalah asal kau mau jadi anjing penjagaku."
Arvani mengatakannya dengan nada ramah yang membuat sekujur tubuh Rian merinding.
Anjing penjaga, berarti seperti hewan peliharaan dan itu adalah kata lain dari budak bagi Rian. Pria pirang dengan mata biru itu melirik sekilas kondisi saudara kembarnya.
Rian menelan ludahnya sendiri. "Baiklah, saya akan menjadi anjing anda dan kalau boleh, izinkan saya mengobati luka Lena terlebih dahulu."
"Oh, boleh saja. Aku pikir lukanya akan sembuh dengan sendirinya."
Rian kembali sadar akan perbedaan kekuatan antara dirinya dengan Arvani.
Arvani pun kembali duduk. Ia juga mengizinkan Rian menggunakan kotak p3k yang sudah diambil oleh Arvani. Lagi pula ini memang milik mereka dari awal, itulah pemikiran Arvani.
Selesai mengobati luka sang kembaran, Rian menatap Arvani dengan wajah penuh tekad layaknya orang yang siap menghadapi hukuman mati.
Pria itu bangkit, berjalan mendekati Arvani seraya mengeluarkan sebuah kertas kontrak yang mengundang rasa penasaran Arvani.
"Apa itu?"
"Kertas untuk kontrak yang akan kita buat."
"Memangnya kau mau melamar pekerjaan?"
"..." Rian termenung atas pertanyaan aneh Arvani.
Sebagai orang yang sudah hidup dalam dunia para pemilik miracle. Kertas kontrak adalah salah satu dari sekian banyak infomasi dasar.
Kensei yang melihat tingkah Arvani itu hanya terkekeh geli dalam hati. Baik dia maupun orang-orang di guild tidak sempat mengajari Arvani tentang ini.
Mariposa sibuk mengajari cara menggunakan teknologi. Ardi sibuk mengajari cara menghadapi para monster, Daniel mengajari cara membaca dan menulis. Kensei sendiri memilih diam bukan karena dia tidak ingin membantu tapi karena dia lupa.
"Anda pasti sedang bercanda," ujar Rian.
"Bercanda? Apa wajahku terlihat seperti sedang bercanda?"
"Wajah anda tidak terlihat wahai Tuan Kelinci Merah."
"..."
"..."