Cherreads

Chapter 14 - 14. Hunter of Tower 3

Arvani menatap kosong pada anak perempuan yang merupakan monster jenis manusia setengah hewan itu.

"Berapa usiamu?" Perempuan bertopeng kelinci merah itu bertanya untuk sekedar meringankan suasana.

"10 tahun."

Sekarang Arvani menyesal sudah bertanya.

"Berbaliklah."

Anak perempuan itu menurut. Dia membelakangi Arvani dan memejamkan mata, siap untuk kematiannya.

Sring!

Satu tebasan belati dari Arvani dapat dengan mudah memisahkan kepala anak perempuan itu dari badannya. Bercak darah yang menempel pada belati itu langsung dibersihkan oleh Arvani menggunakan tisu yang dirinya bawa.

'Di luar dugaan, kau cukup bagus dalam membunuh tanpa rasa sakit.'

Itu sejenis pujian sekaligus sindiran dari Kensei.

Dari kotak besar yang ada di tengah-tengah lantai memunculkan sebuah kalimat hologram.

[Selamat kepada Arvani Sang Kelinci Merah yang lolos ke lantai berikutnya dalam kurun waktu kurang dari 2 menit!]

Arvani menatap datar pada hologram tersebut.

'Orang bodoh.' kata Kensei yang sadar kalau Arvani menyebutkan nama aslinya sendiri saat mendaftar.

Perempuan itu sendiri justru menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Ya biarkan sajalah, sudah terlanjur juga."

Mungkin dengan nama perempuan ini orang-orang akan mengira bahwa ia adalah Kelinci Merah yang palsu, begitulah isi pikiran Arvani.

Perempuan berambut hitam ini pun berjalan menuju pintu keluar yang juga memiliki berat 1 ton. Pintu terbuka dan memperlihatkan semacam ruang tunggu menuju lantai berikutnya.

Drrt! Drrt!

Robot pelayan datang menghampiri Arvani. Robot itu memiliki rota seperti tank dengan bagian belakang tubuhnya yang terhubung dengan troli makanan.

Suara robot pelayan itu terdengar datar.

"Bola apa?" Dahi Arvani berkerut heran.

"Kenapa namanya bola hitam? Warnanya kan abu-abu."

Robot pelayan itu termenung sejenak.

"..."

<...>

"..."

<... Apa anda mau saya antar menuju area penginapan?>

Arvani mengangguk. Di perjalanan robot pelayan itu memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai menara. Tiap lantai di menara terdiri menjadi 3 area. Area berlangsungnya tantangan, area penginapan, dan terakhir area pembuangan.

Untuk bisa menggunakan penginapan calon Hunter harus membayar menggunakan poin yang mereka dapatkan begitu menyelesaikan tantangan. Jika mereka tidak dapat mengikuti tantangan di lantai berikutnya dan tidak memiliki poin maka area pembuangan lah yang menjadi tempat mereka.

Robot pelayan itu tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai area pembuangan dan itu mengharuskan Arvani mencari informasi sendiri.

Begitu tiba di area penginapan Arvani kembali merasakan banyak tatapan mata yang tertuju pada dirinya.

"Jadi orang terkenal itu repot juga ya," gumamnya.

Perempuan itu melangkah menuju meja resepsionis. Memesan kamar murah di mana kamar mandinya merupakan kamar mandi umum dan tidak memiliki balkon. Harganya 5 poin per malam.

Untuk sarapan, makan siang dan makan malam harganya di mulai dari 5 sampai 30 poin.

"A-apa anda ingin robot pelayan kami membawakan makan siang anda?"

"Huh? Tidak. Itu bisa jadi kesempatan untuk menaruh racun dalam makananku."

"Ah! Mo-mohon maaf, Tuan Arvani."

Arvani mengangguk bahunya santai. Ia mengambil kunci kamar, melihat sekilas nomor yang tertera di sana lalu berjalan menuju kamarnya.

Kebanyakan calon Hunter yang berhasil lolos dari tantangan pertama akan langsung menuju lantai kedua. Selain untuk menghemat poin mereka juga ingin secepatnya menjadi Hunter dan lain sebagainya.

Untuk Arvani sendiri, dia hanya ingin tidur siang terlebih dahulu. Hanya itu.

.

.

.

Malam harinya Arvani yang mengenakan topeng kelinci merah berdiri di depan pintu menuju lantai ke dua atas desakan Kensei.

Pria berambut putih panjang dengan ujung yang bergelombang itu sekarang sedang berdiri— melayang di dekat Arvani. Yah, kakinya tidak terlihat menempel dengan tanah. Tubuhnya juga sedikit transparan. Cocok untuk statusnya yang hanya berupa jiwa tanpa raga.

Arvani memanggil Kensei keluar bukan tanpa alasan. Dia perlu lebih banyak mata untuk mengawasi sekitar.

'Tidak banyak calon Hunter yang bisa menjadi ancaman di sekitar sini. Langsung lanjut saja ke lantai berikutnya.'

Arvani tak ambil pusing dan menurutinya. Dia membuka pintu itu dan pergi menuju area tantangan di lantai dua.

Tempatnya kurang lebih mirip dengan area tantangan di lantai satu. Padang ilalang luas, beberapa bukit, dan terakhir kotak hitam di area tengah. Bedanya kali ini terdapat bola hitam yang terus mengikuti Arvani layaknya kamera pengintai.

Bzzt! Bzzzt!

Suara berat dan agak serak terdengar dari bola hitam tersebut. Walau terdengar berbeda, Arvani sepertinya pernah mendengar suara tersebut di suatu tempat.

Mata Arvani membesar ketika mendengar nama Sean Faraday. Akan tetapi, mengingat Daniel yang menyuruhnya bertemu di lantai 20 dan tidak memerintahkan untuk membunuh Sean membuat Arvani memutuskan tetap diam.

"Yah, Guildmaster pasti punya rencana, kan," batin Arvani seraya memperbaiki posisi topengnya.

Bersamaan dengan hilangnya suara Sean muncul sejumlah angka yang menunjukkan batas waktu yang harus dihabiskan Arvani di dalam area tantangan ini.

"10 hari ya, lama juga."

Srak!

Terdengar suara rumput yang diinjak membuat kewaspadaan Arvani naik. Ketika menoleh, mata hitamnya melihat seorang perempuan muda yang usianya mungkin seumuran dengan dirinya.

"Halo~ anda pasti tuan Arvani sang kelinci merah bukan?"

Saat perempuan muda itu berjalan mendekat, Arvani mengeratkan genggaman tangannya pada belati.

Menyadari aura permusuhan tersebut, perempuan muda itu memperkenalkan dirinya.

"Namaku Lena. Aku adalah penggemar berat anda!"

Arvani merasakan hawa membunuh yang sangat tersembunyi. Milik seorang ahli. Namun, ini tidak berasal dari perempuan di hadapannya.

"Oh ya, apa boleh kita berfoto? Aku benar-benar ingin pamer pada temanku yang lain. Kalau anda masih mewaspadaiku kita bisa berfoto dari jarak segini kok."

Jarak antara Arvani dengan Lena saat ini kurang lebih 3 meter.

Arvani mengangguk pelan. Tidak ada salahnya berfoto dengan seorang fans. Mulai dari Lena yang berpose, suara klik dari ponsel serta cahaya flash, tak ada yang aneh.

"Omong-omong Tuan Arvani, apa anda mau bekerja sama denganku? Dari pengamatan ku, ada beberapa calon Hunter yang memutuskan untuk membuat kelompok. Kita tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh Hunter pengawas bukan?"

Arvani termenung sejenak lalu mengangguk pelan bersamaan dengan angin sepoi-sepoi yang berhembus era pelan. Angin segar ini menggoyangkan rambut hitamnya serta kain merah transparan yang menutup mulutnya.

Samar-samar, Lena menyadari bahwa Arvani sedang tersenyum kecil.

"Yah, tidak ada salahnya mendapat sedikit bantuan."

Lena menunjukkan senyuman bahagia yang biasa dimiliki oleh seorang fans terhadap idolanya. Perempuan muda itu lekas mendekat dan menggenggam tangan kiri Arvani dengan gembira.

"Aku benar-benar senang bisa bertemu dengan anda lalu," senyuman manis di wajah Lena seketika berubah menjadi seringai licik, "kembaranku benar-benar ingin membunuhmu~"

Crat!

Darah segar mengalir keluar dari tempat pisau hitam tersebut menancap.

"Uhuk." Arvani terbatuk dan darah segar keluar dari mulutnya.

Sensasi panas yang menyengat mulai menyebar dari tempat pisau hitam itu tertancap menuju sekujur tubuhnya. Mata hitam Arvani melirik sekilas ke belakang, di sana terdapat seorang pria dengan wajah yang identik dengan Lena, tatapannya dingin dan penuh hawa membunuh.

Tubuh Arvani menjadi kaku dan ia pun tumbang membentur tanah keras.

Lena menatap kembarannya dengan senyum mengejek.

"Rian, kau menganggu kesenanganku tahu. Aku kan ingin mendapat tanda tangan pria ini dulu," ucapnya seraya menendang pelan tubuh Arvani.

"Jangan buang-buang waktu, Lena. Kita harus segera menyelesaikan menara dan kembali." Laki-laki yang dipanggil Rian itu memutar pisaunya cepat untuk menghilangkan noda darah yang masih kental.

Lena mengangkat bahunya cuek. Perempuan muda dengan rambut pirang itu pun mengambil belati yang ada pada Arvani. Keduanya lalu berjalan pergi meninggalkan Arvani sendirian.

"Sayang sekali, ternyata Kelinci Merah yang dirumorkan itu sangat lemah rupanya," batin Lena kecewa.

Tanpa disadari oleh kedua saudara kembar tersebut, Arvani perlahan bangkit. Perempuan itu dengan cepat mengeluarkan pedang pemberian Daniel dan melakukan serangan.

"[Teknik pedang Kensei Igarashi: bentuk pertama.]"

Serangan pertama Arvani mengenai punggung Lena dengan telak. Darah hangat langsung terciprat mengotori topeng merah Arvani.

Begitu tubuh Lena tumbang ia langsung melakukan gerakan kedua ke arah Rian. Sesuai dugaannya, Rian berhasil menghindar dengan melompat ke belakang.

'Langsung akhiri saja.' Kensei bersuara.

Arvani menurut. Dia melesat cepat ke arah Rian dan melakukan gerakan ketiga. Tebasan horizontal.

Tepat sesaat ketika Rian hendak menghindar lagi, Kensei diam-diam mencengkram leher pria itu dari belakang serta mengalirkan hawa membunuh yang mengakibatkan tubuh Rian membeku dan berakhir menerima serangan Arvani mentah-mentah.

Begitu tubuh Rian jatuh ke belakang, Arvani ikut menjatuhkan dirinya juga.

Hal itu tentunya membuat Kensei heran. "Apa yang kau lakukan? Racun yang digunakan pria itu seharusnya sudah hilang."

Dalam keheningan, Arvani menjawab dengan nada lirih.

"Di tusuk dari belakang itu sakit, sialan... Aagh~ aku akan mati... Kenapa kau menyuruhku untuk tetap diam ketika dia menusukku? Aghr..."

Kensei menghela nafas panjang. "Hah, berhenti bersikap dramatis dan urus kedua orang ini."

"..."

"..."

"Aku barusan di tusuk pisau loh!"

"Lalu?"

More Chapters