Cherreads

Chapter 2 - Chapter 2

Suasana kelas 2-B membeku.

Semua pasang mata tertuju ke dua orang yang kini duduk berdampingan.

Asuka Valkryie—si Touch of Death.

Dan Ichigo—pemuda yang entah kenapa belum juga mati.

Asuka duduk diam dengan punggung tegak dan ekspresi datar.

Tangannya bertumpu di atas meja.

Matanya lurus menatap Ichigo dari samping.

Ichigo sendiri menyandarkan dagu ke telapak tangan, matanya menerawang keluar jendela.

Sama sekali tidak peduli tatapan tajam dari teman sekelas.

Atau bahkan... dari gadis di sebelahnya.

"Asuka."

"Ya?"

"Aku tidak suka diperhatikan saat tidur siang."

"Aku tidak memperhatikanmu. Aku mengamati."

"Itu sama saja."

"Tidak. Mengamati lebih ilmiah."

Ichigo memutar bola matanya malas.

Ia berbalik menatap Asuka.

"Hanya karena aku tidak mati setelah menyentuhmu, bukan berarti kau harus duduk di sini setiap hari."

"Aku tidak duduk di sini setiap hari."

"Kau sudah duduk di sini tiga menit, dan aku merasa hidupku mulai berubah."

"Aku hanya ingin tahu kenapa kau tidak mati."

Ichigo mengangkat bahu santai.

"Kau tanya aku, aku juga tidak tahu. Mungkin aku terlalu tampan untuk mati."

"Kepercayaan dirimu menjijikkan."

"Terima kasih. Aku berlatih setiap hari."

Asuka mengerutkan alisnya.

Ia melirik ke tangannya sendiri, lalu ke tangan Ichigo yang sedang menyangga dagu.

Perlahan, ia menggeser tangan mendekat ke arah Ichigo... berhenti beberapa senti sebelum menyentuh.

Ichigo melirik pelan.

"Apa yang sedang kau lakukan?"

"Eksperimen."

"Apa eksperimennya?"

"Aku ingin tahu apa yang terjadi kalau aku menyentuhmu dua kali."

"Kalau aku mati?"

"Aku akan merasa bersalah. Mungkin."

"Kalau aku tidak mati?"

"Aku akan lebih tertarik lagi padamu."

"Kau bicara seperti karakter utama dalam drama supernatural murahan."

"Dan kau berbicara seperti figuran di sinetron sore."

Ichigo menarik napas panjang.

Ia meluruskan duduknya dan menatap Asuka lebih serius.

"Asuka. Kau ini bahaya."

"Aku tahu."

"Dan kau masih ingin menyentuhku?"

"Asal kau izinkan."

"Apa aku terlihat seperti orang yang suka disentuh?"

"Asal bukan oleh hantu, aku tidak keberatan."

Tawa kecil nyaris keluar dari bibir Ichigo.

Tapi ia tahan.

Ia berdiri dari kursinya dengan malas.

"Aku pergi beli kopi."

"Kau tidak takut aku mengikuti?"

"Kalau kau mau beli kopi juga, ikutlah."

"Bagaimana kalau aku tidak mau kopi?"

"Berarti kau hanya ingin mengikutiku."

Asuka ikut berdiri.

Ia memasukkan kedua tangannya ke saku rok sekolah.

Langkahnya ringan, ekspresinya santai.

Murid-murid yang masih melihat langsung berpura-pura membaca buku.

Dua makhluk misterius kelas 2-B kini berjalan beriringan keluar kelas.

Satu karena ingin kopi.

Satunya... karena penasaran dan sesuatu yang belum bisa ia pahami.

Lorong sekolah sepi.

Langkah kaki keduanya menggema pelan.

Ichigo membuka mulut duluan.

"Kau selalu sendiri, ya?"

"Orang-orang takut menyentuhku. Aku tidak bisa menyalahkan mereka."

"Kenapa kau tidak pernah pakai sarung tangan atau semacamnya?"

"Sudah kucoba. Tapi tetap... orang-orang tetap mati."

"Berarti kutukannya tidak peduli penghalang fisik."

"Ya. Kecuali kau."

Ichigo mengangguk pelan.

"Kalau begitu... aku memang spesial."

"Atau bodoh."

"Atau campuran keduanya."

"Itu terdengar seperti pujian."

Mereka sampai di vending machine depan ruang guru.

Ichigo memasukkan koin, memilih kopi kaleng, lalu menoleh.

"Kau mau?"

"Aku tidak minum kopi."

"Kenapa?"

"Rasanya pahit seperti hidupku."

"Kupikir kau suka hal pahit."

"Asal bukan dari pengalaman."

Ichigo membuka kaleng kopi, menyeruput perlahan.

Asuka menatapnya tanpa berkedip.

Lalu dengan ekspresi serius, ia bertanya pelan,

"Ichigo... kau ini apa?"

Ichigo menoleh perlahan, menatap lurus ke mata Asuka.

"Aku manusia. Setengah pemalas. Setengah kebal. Mungkin juga alien."

"Aku serius."

"Aku juga serius. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku bisa tahan dengan kekuatanmu."

Asuka menggigit bibirnya pelan.

"Kau tahu... ini pertama kalinya aku merasa... penasaran dengan seseorang."

"Karena aku tidak mati?"

"Karena aku merasa... nyaman."

Ichigo meneguk kopinya lebih pelan kali ini.

Lalu ia menatap langit-langit koridor.

"Aku tidak tahu kenapa kau bisa seperti itu, Asuka."

"Asal jangan kau bilang 'karena takdir'... aku akan muntah."

"Tenang. Aku bukan orang sekaku itu."

"Syukurlah."

Beberapa detik hening.

Sampai akhirnya Asuka melangkah satu langkah lebih dekat.

Jaraknya kini hanya satu lengan dari Ichigo.

"Aku mau coba satu hal."

"Kalau itu mencubit pipiku, aku tidak setuju."

"Kalau itu mencubit hatimu?"

"Itu... tergantung seberapa sakit cubitannya."

Tanpa bicara, Asuka mengangkat tangan.

Ia meletakkannya pelan di atas kepala Ichigo.

Menepuknya satu kali.

Ichigo mematung.

Asuka menatapnya. Menunggu.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Asuka lirih.

Ichigo mengangkat alis.

"Seperti diperlakukan seperti anak kecil."

"Tapi kau tidak mati, kan?"

"Belum. Tapi harga diriku sedikit menurun."

"Bagus."

Asuka tersenyum kecil.

Senyuman pertama sejak hari itu di tangga.

Ichigo mengalihkan pandangannya, sedikit risih.

"Kau senyum begitu... agak menyeramkan."

"Karena kau belum terbiasa."

"Dan kau belum tahu cara senyum tanpa terlihat seperti sedang merencanakan pembunuhan."

"Asal bukan pembunuhan hatimu."

"Sudah kubilang, cukup soal hati."

Mereka tertawa pelan.

Entah sejak kapan, suasana yang tadinya canggung jadi terasa ringan.

Dan di tengah koridor kosong itu, untuk pertama kalinya...

Asuka Valkryie tidak merasa sendirian.

Dan Ichigo... tidak merasa diganggu.

Mungkin... justru merasa senang.

Meski dia takkan pernah mengakuinya keras-keras.

Setelah berbincang santai mereka berdua kembali ke kelas mereka

--

Langkah kaki mereka kembali terdengar di sepanjang lorong sekolah yang mulai ramai.

Beberapa murid menoleh, lalu buru-buru menghindar begitu melihat Asuka berjalan di sebelah Ichigo.

Seolah-olah sedang menyaksikan pemuda paling berani dalam sejarah SMA yang tidak tahu konsep takut.

Ichigo tetap santai, satu tangan masih menggenggam kaleng kopi yang tinggal setengah.

Asuka berjalan di sampingnya tanpa ekspresi, tapi langkahnya sedikit lebih ringan dari sebelumnya.

Mereka berdua kembali ke kelas 2-B tanpa satu kata pun.

Begitu masuk, suara berisik kelas langsung meredam seperti tsunami yang berhenti di tengah jalan.

Semua mata serentak menoleh.

Semua mulut otomatis terdiam.

Semua ekspresi campur aduk antara takut, kaget, dan kagum bodoh.

Ichigo kembali duduk di bangkunya, sama seperti sebelumnya.

Asuka? Mengambil tempat duduk di sebelahnya. Lagi.

Ia menarik kursi dengan pelan, lalu duduk dengan anggun tanpa bicara.

Ichigo melirik sekilas, lalu kembali memandangi buku pelajaran yang bahkan tidak ia baca.

Asuka menatapnya lekat-lekat dari samping. Lagi.

"Kau tidak takut padaku?"

Suara Asuka pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Ichigo menoleh.

"Tidak."

"Asal kau tahu... semua orang takut padaku."

"Aku tahu. Tapi aku bukan semua orang."

"Apa kau tidak pernah merasa... cemas? Jaga jarak, mungkin?"

"Kenapa aku harus jaga jarak kalau aku tidak merasa terancam?"

Asuka memiringkan kepala pelan.

Ia menyandarkan pipinya di tangan kanan, matanya masih menatap Ichigo.

"Kau manusia yang aneh."

"Aku lebih suka disebut spesial."

"Itu membuatmu terdengar menyedihkan."

"Itu kenyataan yang kupeluk dengan tulus."

Asuka menyentuh ujung rambutnya pelan.

Ia memainkannya sebentar, sebelum matanya kembali ke wajah Ichigo.

"Kau tahu tidak? Ada satu orang yang pernah berani dekat denganku..."

"Aku tidak tahu, dan aku rasa kau akan menceritakannya."

"Dia meninggal tiga detik setelah menyentuh lenganku."

"Wow. Singkat dan tragis. Mirip kisah cinta masa depan kita."

"Apa kau bilang barusan?"

"Aku bilang... cuacanya cerah hari ini."

Asuka menghela napas.

Ia menunduk sebentar, lalu tiba-tiba mengangkat jarinya.

Dengan tenang, ia mulai menusuk-nusuk pelan pipi Ichigo.

Satu kali. Dua kali. Tiga kali.

Ichigo menoleh perlahan... tapi wajahnya datar. Tidak ada ekspresi.

Ia hanya diam, membiarkan jari Asuka menyentuh kulit pipinya.

"Asuka..."

"Hm?"

"Itu pipiku, bukan tombol lift."

"Dan kau... tidak mati."

"Aku mulai berpikir kau ingin aku mati biar bisa buat eksperimen."

"Aku tidak mau kau mati. Aku hanya ingin tahu kenapa kau hidup."

Jari Asuka masih bergerak pelan. Sekali-sekali ia mencubit kecil pipi Ichigo.

Ichigo tidak bereaksi.

Bahkan tidak bergerak.

Hanya menatap ke depan seperti patung yang dilatih menjadi sabar.

"Ichigo."

"Apa?"

"Pipimu kenyal."

"Aku tidak tahu harus senang atau khawatir."

Asuka terkekeh pelan.

Tangan kirinya sekarang ikut bermain, menyentuh bagian dagu Ichigo.

Ichigo menoleh sekilas, ekspresinya tetap malas.

"Asuka, apa kau sedang menyamar jadi dokter gigi?"

"Aku sedang menganalisis wajahmu."

"Banyak orang bisa bilang begitu saat mencoba hal aneh."

"Kau terlihat tenang. Bahkan pas disentuh."

Ichigo mengambil buku catatannya.

Membuka halaman sembarang dan mulai corat-coret.

"Asuka..."

"Hm?"

"Aku tahu kau penasaran. Tapi kalau kau terus menyentuhku, orang-orang akan mulai berpikir aku punya kekebalan super."

"Itu bukan ide buruk."

"Itu juga bisa memancing drama tak perlu."

"Dan kau benci drama?"

"Aku lebih suka tidur siang daripada jadi pusat perhatian."

Asuka menarik tangannya pelan.

Ia menyandarkan tubuh ke kursinya.

Matanya tidak lepas dari wajah Ichigo yang tetap santai.

Lalu dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, ia berkata,

"Aku ingin tahu... apa yang membuatmu berbeda."

Ichigo mengangkat alis.

"Lho, aku pikir sudah kukasih tahu. Aku tampan."

"Aku serius."

"Aku juga. Ini satu-satunya penjelasan yang masuk akal sejauh ini."

Asuka menggeleng pelan.

Ia membuka buku catatannya sendiri, mulai menulis sesuatu dengan cepat.

Ichigo melirik.

"Kau sedang menulisku jadi subjek laporan penelitian?"

"Mungkin."

"Kalau begitu aku minta royalti."

"Aku bisa kasih senyuman."

"Uh... aku minta pertimbangan ulang."

Asuka kembali menusuk pipi Ichigo sekali lagi.

Ichigo? Tidak bergerak. Tidak mengeluh. Tidak membalas.

Hanya mendesah.

"Satu hari nanti... kau akan terbiasa dengan perlakuan ini."

"Aku rasa satu hari nanti, aku akan lupa rasanya punya privasi."

"Kau tidak pernah punya sejak aku duduk di sini."

"Terima kasih atas pengingat menyakitkan itu."

Asuka menatap jari-jarinya sendiri.

Kemudian ia berbisik, hanya cukup keras untuk Ichigo dengar.

"Aku senang bisa duduk di sebelahmu."

Ichigo menoleh, kali ini sedikit lebih serius.

Matanya menatap mata Asuka, mencoba membaca maksud tersembunyi.

"...Meski kau sering menusuk pipiku?"

"Justru karena itu."

"...Kau memang aneh."

"Kau juga."

Dan untuk pertama kalinya hari itu...

Ichigo tersenyum.

Senyum tipis, nyaris tak terlihat, tapi cukup jelas untuk membuat Asuka sedikit melotot.

Kejutan kecil yang singkat... tapi menghangatkan.

--

Bel pulang sekolah berdentang nyaring, seperti alarm tanda bebas dari penjara harian.

Satu per satu murid bergegas keluar kelas.

Tapi Ichigo tetap duduk di kursinya, menutup bukunya pelan.

Sementara di sebelahnya, Asuka Valkyrie masih diam.

Matanya tak lepas dari wajah Ichigo, lagi-lagi dengan tatapan misterius itu.

Ichigo berdiri sambil meregangkan tangan ke atas.

Punggungnya berbunyi kecil. “Aku pulang.”

Asuka ikut berdiri. “Aku ikut.”

“Kau mau ngapain?”

“Lihat dunia luar. Bersamamu.”

Langkah Ichigo melambat.

Ia menoleh, mengerutkan kening.

“Tidak ada yang bilang kau harus ikut.”

“Aku tidak minta izin.”

Ichigo menatapnya lama. Lalu mendesah.

“Terserah. Tapi jangan banyak tingkah.”

Mereka berjalan keluar kelas.

Langkah Asuka ringan seperti angin sore.

Langkah Ichigo santai, tapi waspada.

Beberapa murid masih ada di lorong, memperhatikan mereka dari jauh.

Bisik-bisik langsung terdengar seperti nyamuk tak tahu diri.

“Hei, bukannya itu Valkyrie...?”

“Dia jalan bareng Ichigo lagi...”

“Dia nggak bunuh dia? Serius?”

“Apa dia... jatuh cinta?!”

“Ngimpi. Itu pasti eksperimen. Pasti begitu.”

Asuka berhenti di depan pintu gerbang sekolah.

Ia memejamkan mata sebentar, lalu menarik napas dalam.

“Aku jarang keluar jam segini.”

Ichigo melihatnya sekilas. “Kau vampir?”

“Tidak. Aku cuma malas.”

“Akhirnya kutemukan sesuatu yang kita punya sama.”

Mereka berjalan menyusuri trotoar kota.

Cahaya matahari sore mulai menguning, membuat bayangan mereka memanjang.

Asuka menarik rambutnya ke belakang, mengikatnya pelan.

“Kenapa kau selalu tenang?”

“Karena panik tidak akan membuatku tiba-tiba menjadi pintar.”

“Jawabanmu menyebalkan.”

“Tapi logis.”

Asuka mendekat sedikit ke arah Ichigo.

Tangan kirinya menyenggol bahu Ichigo, sengaja atau tidak.

Ichigo tidak menoleh, tidak komentar, hanya tetap berjalan lurus.

“Asuka.”

“Ya?”

“Kau senggol aku lagi, aku anggap kau naksir.”

Asuka mengangkat alis. “Kalau aku senggol lagi?”

Ichigo berhenti.

Asuka ikut berhenti.

Mereka saling tatap, hanya sejenak, tapi cukup lama untuk membuat suasana terasa... aneh.

Ichigo menunjuk dadanya sendiri. “Kalau kau sentuh sini, berarti kau serius.”

Asuka memiringkan kepala. “Kau tidak takut?”

“Sudah kubilang. Aku tidak tahu caranya takut padamu.”

Tangan Asuka perlahan terangkat.

Jarinya berhenti beberapa senti dari dada Ichigo.

Matanya menatap dalam ke arah wajah di depannya.

Tapi... ia urungkan.

Ia turunkan tangannya pelan-pelan.

Kemudian ia tersenyum kecil. Tipis, hampir tak terlihat.

“Lain kali... jangan menyentuh hati orang sembarangan.”

Ichigo berkedip. “…Apa itu barusan?”

“Peringatan.”

“Aku pikir ancaman.”

“Kalau aku mengancam, kau sudah jadi arang sejak tadi.”

“Itu... menenangkan?”

Asuka tertawa pelan.

Suara yang tak biasa dari gadis yang disebut ‘malaikat kematian sekolah’.

Ichigo masih menatapnya, diam.

Matanya tidak lepas dari senyum Asuka yang samar-samar, seolah menyimpan cerita yang belum selesai.

“Kenapa kau tersenyum?”

“Karena aku tidak bisa membunuhmu.”

“Jangan bilang itu bentuk pujian.”

Asuka mengalihkan pandangan ke langit.

Matahari mulai tenggelam, mewarnai awan dengan oranye lembut.

“Aku tidak mengerti dirimu.”

“Itu artinya kau penasaran.”

“Dan itu berbahaya.”

“Dan itu menyenangkan.”

Beberapa detik sunyi.

Lalu Ichigo berjalan lagi.

“Asuka.”

“Ya?”

“Kalau kau terus begini, aku bisa... menyukaimu.”

Asuka terdiam. Jari-jarinya mengepal ringan.

Langkahnya melambat.

“Terlambat,” bisik Asuka nyaris tak terdengar.

Ichigo menoleh. “Apa?”

“Tidak. Bukan apa-apa.”

Ichigo hanya mengangkat bahu dan lanjut berjalan.

Tapi... senyum kecil muncul di ujung bibirnya.

Senyum yang tidak ia sadari, tapi cukup untuk membuat hati seseorang berdetak lebih cepat.

Langit makin gelap.

Lampu-lampu jalan mulai menyala.

Suara kendaraan jadi musik latar yang sempurna.

Dan dua orang remaja, berjalan berdampingan... dalam diam yang nyaman.

Saling menyimpan rasa... yang belum bisa disebut cinta.

--

Malam itu, supermarket besar masih ramai walau sudah hampir tutup.

Ichigo mendorong troli sambil memperhatikan rak makanan.

Tiba-tiba matanya menangkap sosok familiar.

Asuka Valkryie, berdiri jauh di ujung lorong, rambut ungunya yang pucat mencolok di bawah lampu.

Jantung Ichigo tiba-tiba berdegup sedikit lebih cepat.

Ia berhenti, memalingkan punggung sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya.

Suaranya berat karena masker menutup mulut.

“Aku lagi di toko... iya, nanti aku pulang...” ucapnya pelan.

Kemudian, ia mengenakan kacamata hitam yang ia simpan di saku jaket.

Agar Asuka tak mengenalinya, dia juga mengenakan hoodie dengan tudung dan topi hitam.

Mulutnya tertutup rapat, berusaha menutupi suara sebenarnya.

Asuka tampak berjalan ke arah rak lain, seolah tak curiga.

Ichigo menghela napas lega, pikirnya aman.

Tapi belum sempat ia berbalik lagi...

Tangan ringan menyentuh bahunya dari samping.

“Ichigo?”

Suaranya pelan tapi jelas, membuat jantung Ichigo hampir lompat.

Ichigo menoleh perlahan, wajah tertutup masker dan kacamata.

“Aku bukan Ichigo, aku Goichi.”

Suaranya sengaja dibikin berat dan kasar.

Asuka tertawa kecil, lalu dengan santai mencubit pinggang Ichigo.

“Bodoh. Itu memang kau balik-balik namanya?”

“İcihgo jadi Goichi... Jangan mentang-mentang kau ranking satu, kau kira bisa sembunyi dari aku?”

Ichigo mendelik, sedikit kesal.

“Tapi, kau selalu tahu di mana aku berada.”

Asuka senyum jahil, matanya berbinar penuh misteri.

“Kalau aku bilang aku bisa mencium bau ketakutanmu, kau percaya?”

Ichigo melirik sekeliling, agak panik.

“Kau gila, Asuka. Aku nggak takut sama sekali.”

“Tapi kau sembunyi. Itu tandanya takut.”

Ichigo menarik napas panjang, lalu berkata, “Kalau begitu aku takut ketahuan kamu.”

Asuka tertawa pelan, menatap wajah yang setengah tersembunyi itu.

“Malam begini, kau masih berani main petak umpet?”

“Kau ini siapa sebenarnya? Polisi rahasia?”

“Asal kau tahu, aku lebih menyeramkan daripada polisi.”

Ichigo menepuk dahinya, pura-pura kesal.

“Tolong, jangan bikin aku pengen kabur terus.”

Asuka menggoda sambil melangkah mendekat.

Ichigo mundur pelan, tapi langkahnya terbatas oleh troli.

“Apa yang kau cari di sini?”

Ichigo bertanya sambil mengintip isi keranjang Asuka.

“Cuma bahan buat makan malam. Jangan tanya kenapa aku masak.”

“Kau kok bisa masak?”

Asuka mengangkat bahu santai.

“Kau nggak percaya aku bisa, kan?”

Ichigo mengangguk pelan.

“Terserah. Tapi jangan sampai masakanmu itu racun.”

“Asal kau mau makan, aku bisa buat apa saja.”

Ichigo mengernyit.

“Kalau begitu, aku harus siap dengan napas terakhir.”

Asuka tertawa, menggelengkan kepala.

Suasana jadi santai.

Ichigo menurunkan topi dan kacamata sedikit.

“Lain kali, jangan muncul tiba-tiba seperti itu.”

“Asal kau nggak kabur lagi, aku juga nggak akan tiba-tiba datang.”

“Mudah banget kau bilang begitu.”

“Mungkin karena aku suka tantangan.”

Ichigo diam, memperhatikan wajah Asuka yang cerah di bawah lampu supermarket.

Lampu di ujung lorong mulai redup.

“Kalau begitu, jangan biarkan aku terbiasa denganmu.”

“Kau sudah terlambat.”

Mereka berdua tertawa kecil, suara yang tidak biasa terdengar begitu hangat.

Troli bergerak pelan, meninggalkan lorong malam itu dengan cerita yang baru saja dimulai.

More Chapters