Cherreads

Chapter 18 - Eps18: Api yang Tak Padam

Langit Narthas kini tidak lagi kelabu, melainkan berwarna merah darah. Tanda bahwa batas dimensi mulai retak. Petir ungu menari di antara awan, menciptakan gema seperti jeritan dari alam lain.

Di balai utama Kota Narthas, pasukan Cahaya telah bersiap. Zera memeriksa barisan. Maelya duduk bersila, menyatukan energi suci dalam lingkaran perlindungan. Kaelus, dengan mantel perangnya, berdiri di tengah panggung batu sambil membacakan mantra perlindungan kuno.

Tapi semua mata akhirnya tertuju pada satu sosok yang berjalan perlahan ke tengah barisan.

Zhun.

Meskipun jubahnya masih hitam dan kulitnya masih menyimpan bekas energi bayangan, tapi sorot matanya berbeda. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, ia membawa keyakinan dalam langkahnya.

“Aku tidak datang sebagai pahlawan,” katanya lantang. “Tapi aku tahu siapa yang perlu aku lindungi. Dan siapa yang harus dihentikan.”

Beberapa pasukan tampak ragu. Tapi Abbas maju, berdiri di sisi Zhun.

“Dunia ini tak bisa diselamatkan oleh cahaya saja. Kadang, kita butuh mereka yang pernah tersesat... untuk menunjukkan arah pulang.”

Suara tepuk tangan pertama datang dari Elira. Lalu perlahan, satu per satu prajurit mengangguk dan mengangkat senjata.

Di bawah tanah Narthas, segel kuno mulai retak sepenuhnya. Batu-batu dengan ukiran kuno pecah satu per satu. Dan dari dalam lubang terdalam...

Val’Tharok bangkit.

Kali ini, sepenuhnya.

Wujudnya bukan lagi hanya kabut dan bayangan. Ia berbentuk seperti makhluk raksasa dengan tubuh bersisik hitam dan wajah mirip tengkorak naga. Di punggungnya tumbuh dua sayap tajam seperti belati. Matanya menyala merah. Mulutnya penuh taring.

Teriakannya mengguncang bumi. Gunung-gunung di kejauhan runtuh sebagian. Sungai mengering. Dan di setiap sudut dunia, makhluk-makhluk bayangan bangkit kembali. Dunia perlahan... menuju malam abadi.

Pasukan Cahaya bersiap di dataran terbuka di luar Narthas. Di depan mereka, ribuan makhluk bayangan menyerbu. Tapi Abbas, Elira, dan Zhun berdiri paling depan.

“Target kita bukan mereka,” ujar Abbas. “Kita harus memotong kepala kegelapan langsung.”

Zera memimpin sayap kiri. Kaelus dan Maelya memimpin pertahanan tengah. Sementara Abbas, Elira, dan Zhun akan menembus ke jantung kegelapan ke tempat Val’Tharok muncul.

“Kalau ini terakhir kalinya kita bertarung bersama,” kata Zhun, “Aku senang kita bertarung sebagai keluarga.”

Elira tersenyum pahit. “Akan lebih baik kalau kita tidak mati. Lalu membicarakan ini sambil makan roti.”

Abbas tertawa. “Kalau kita selamat... aku akan buatkan roti setiap pagi.”

Pertempuran dimulai.

Langit memerah. Tanah terbelah.

Pasukan bayangan menyerbu dengan kecepatan luar biasa. Makhluk-makhluk setinggi pohon datang menerjang, dengan cakar dan mulut menganga. Tapi pasukan Cahaya tidak gentar. Lentera-lentera perang mereka menyala dengan kekuatan spiritual, memancarkan cahaya yang menusuk kegelapan.

Maelya menciptakan kubah suci yang melindungi barisan. Zera memimpin serangan cepat, membelah gelombang musuh. Kaelus menyerang dari jarak jauh dengan panah sihir bercahaya biru yang membakar iblis dalam sekejap.

Tapi kunci dari segalanya ada di tengah.

Abbas, Elira, dan Zhun menembus jantung pertempuran. Bersama, mereka melompati reruntuhan, menangkis serangan, dan terus bergerak menuju retakan dimensi tempat Val’Tharok berdiri.

Val’Tharok mengamati mereka dari ketinggian. Tubuhnya menyatu dengan pusaran kabut yang kini menyerupai lautan langit.

“Kalian datang,” suaranya berat, menggema dalam kepala mereka. “Tapi kalian tidak akan keluar.”

Abbas mengangkat lampu kehidupannya. Nyala kecil muncul di dalamnya satu titik cahaya putih murni. Solara baru.

“Kami tak datang untuk keluar. Kami datang untuk menyelesaikan ini.”

Val’Tharok membuka mulutnya, melemparkan gelombang energi kegelapan. Tapi Zhun berdiri di depan, menyerap sebagian serangan dengan tubuhnya.

“TERUSKAN!” teriak Zhun. “AKU MASIH PUNYA SISA KEKUATAN!”

Elira meluncur ke langit, menyebar sayap peraknya, lalu menjatuhkan hujan cahaya ke tubuh Val’Tharok.

Sementara itu, Abbas memusatkan kekuatannya. Lampu Kehidupan di tangannya kini menyala seperti matahari mini. Ia menutup matanya, lalu menancapkan lampu itu ke tanah, langsung ke pusat segel.

Tanah bergetar hebat.

Cahaya menyebar.

Val’Tharok mengaum kesakitan.

Tapi...

Dari balik kabut, serangan balik datang. Satu proyektil hitam sebesar batu menghantam tubuh Abbas dan melemparkannya ke dinding batu.

“ABBAS!” teriak Elira.

Ia jatuh, terhempas keras. Darah mengalir dari keningnya. Tapi tangannya masih menggenggam lampu itu erat.

Zhun mengepalkan tangan. Amarah dan penyesalan bertumpuk. Ia berlari menuju Val’Tharok.

“AKU BUKAN BAYANGANMU LAGI!”

Ia menyerang. Satu serangan, dua serangan, tiga. Pedang bayangannya berubah bentuk bukan gelap lagi, tapi abu-abu keperakan.

Val’Tharok menangkis dengan mudah.

Lalu... mencengkeram tubuh Zhun dan menghantamkannya ke tanah.

“Elira... habiskan dia...” bisik Zhun sebelum jatuh tak sadarkan diri.

Elira terbang tinggi, lalu menukik.

“UNTUK ZHUN!”

Pedangnya berubah menjadi panah cahaya dan meluncur tepat ke mata Val’Tharok. Tembus.

Makhluk itu mengaum, kini goyah.

Abbas berdiri lagi. Luka di tubuhnya parah. Tapi lampu di tangannya bersinar sangat terang. Lebih terang dari sebelumnya. Ia menatap Elira.

“Sekarang,” katanya.

Mereka berdiri berdampingan. Lalu, dengan sisa tenaga, memanggil semua cahaya, seluruh kenangan, cinta, luka, pengorbanan

semuanya.

Dan mereka melepaskan satu serangan terakhir.

Dan ketika cahaya itu meledak, langit terbelah. Dunia diam. Tapi belum jelas siapa yang masih berdiri. Siapa yang masih hidup. Atau apakah harapan telah mati bersama mereka.

More Chapters