Suasana pagi di istana Auralis tidak secerah biasanya. Langit tertutup awan abu, dan udara terasa lebih dingin. Rania duduk sendiri di balkon kamarnya, memandangi gelang waktu yang kini terasa lebih berat di pergelangan tangannya.
Sejak melihat proyeksi ingatan semalam, pikirannya tak pernah berhenti bertanya.
Apakah aku benar-benar berasal dari masa depan yang lebih jauh dari yang kupikir?
Apakah Kael... memang mencintaiku?
Dan yang paling membuatnya takut:
Jika aku sudah mencintai seseorang sebelum terdampar ke Auralis, lalu… bagaimana dengan perasaanku sekarang pada Arven… dan Elvaron?
---
“Lady Rania, Pangeran Elvaron meminta Anda hadir di ruang selatan istana,” ujar Lera si pelayan.
Rania menoleh cepat. “Ada apa?”
“Beliau ingin menunjukkan sesuatu... tentang masa lalu Anda.”
---
Ruang selatan istana adalah tempat yang jarang dipakai. Ada ribuan gulungan kuno dan perangkat waktu misterius yang hanya bisa diakses oleh keluarga kerajaan.
Di sanalah Elvaron menunggu—bersandar di dekat alat waktu berukir batu biru safir.
“Kau datang,” ucapnya pelan.
Rania mengangguk. “Apa yang ingin kau tunjukkan?”
Elvaron menekan sebuah panel di meja waktu. Cahaya keemasan muncul, membentuk visual seperti hologram.
Tapi kali ini... bukan gambaran masa depan.
Melainkan masa kecil Rania.
Seorang anak perempuan dengan rambut berantakan, duduk di lantai laboratorium, dikelilingi tabung dan layar digital.
> “Lihat, Ayah! Aku bisa aktifkan mesin waktunya!”
Dan dari belakang, muncul seorang pria tua—mengenakan jas putih.
“Namanya Profesor Nadir,” jelas Elvaron. “Dia ilmuwan waktu yang menghilang dari tahun 2090-an. Dan kau… adalah anak angkatnya.”
Rania terdiam. Matanya mulai basah.
> Aku bukan siapa-siapa... tapi ternyata aku anak dari dunia yang bahkan tidak kukenal...
Elvaron berjalan pelan mendekat. “Kael bukan pembohong. Tapi dia juga bukan yang kau kira. Dia menyayangimu, ya… tapi lebih dari itu, dia ingin menggunakan gelang waktu untuk membuka portal permanen antar zaman.”
Rania menatapnya, syok. “Kau yakin?”
Elvaron mengangguk. “Ia hampir berhasil—sampai kau kabur dan gelang itu hilang bersama tubuhmu dalam badai waktu.”
Deg.
Jadi begitulah ia sampai ke Auralis?
Bukan karena kecelakaan… tapi karena melarikan diri.
---
Sore itu, Arven menemui Rania di taman kerajaan. Ia sudah tahu semua dari Master Erthyn.
“Aku takkan memintamu untuk memilih siapa pun, Rania. Tapi aku harap… kau tidak melupakan siapa yang membuatmu bertahan di sini.”
Rania menunduk. Hatinya sakit.
“Arven… semua ini terlalu cepat. Aku bahkan tak tahu harus percaya siapa.”
Arven mendekat, menatap matanya dalam-dalam. “Kalau kau lelah mencari kebenaran... maka percayalah padaku. Bukan sebagai pangeran. Tapi sebagai lelaki… yang perlahan jatuh padamu.”
Rania membeku.
Ia tak menjawab.
Tapi malam itu… ia menangis.
Bukan karena sedih.
Tapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa memiliki begitu banyak alasan untuk tinggal… dan satu alasan besar untuk pergi.
---
Di kejauhan, Kael yang masih dipenjara tersenyum dingin, matanya menatap langit malam yang mulai terbelah lagi.
> “Kita akan pulang, Rania. Dengan caramu... atau denganku.”