Fajar baru saja menyentuh langit Auralis saat kabar itu tersebar dengan cepat: Kael menghilang dari penjara waktu.
Rania berlari menyusuri lorong istana bersama Arven dan Elvaron. Suara langkah kaki mereka bergema di dinding batu dingin. Di tangannya, gelang waktu berdetak tidak wajar—seolah sedang memperingatkan sesuatu yang besar sedang terjadi.
Tik… tik… tik…
Sampai akhirnya mereka tiba di sel bawah tanah. Rantai bercahaya yang mengikat Kael telah terlepas dan tergeletak di lantai.
Namun yang paling mengerikan bukanlah kosongnya sel itu…
Tapi lingkaran waktu yang terbuka di tengah lantai batu—sebuah portal mini, berkilau biru keperakan—masih aktif, memancarkan hawa dingin yang menusuk tulang.
“Elvaron, ini… gerbang ke dimensi bebas,” bisik Arven. “Bukan jalur resmi. Jalur seperti ini hanya bisa dibuka oleh… pengguna waktu tingkat tinggi.”
Elvaron menunduk menatap simbol di pinggiran portal. “Dia mengambil penstabil waktu dari ruang penyimpanan istana. Kael tahu cara mengakses sistem kerajaan.”
“Lalu dia ke mana?” Rania bertanya.
Arven menatap gelang di tangan Rania. “Dia pergi ke tempat satu-satunya yang bisa menarikmu keluar dari sini... ke masa antara.”
---
Malam harinya, Rania duduk sendiri di ruang kristal. Bayangan Kael tak bisa lepas dari pikirannya.
> Dia mencintaiku… atau hanya ingin memanfaatkanku?
> Tapi jika aku pernah mencintainya… bagaimana dengan perasaanku sekarang pada Arven… dan Elvaron?
Ia menatap pantulan wajahnya di cermin kristal.
Sejak kapan wajahnya berubah secepat ini?
Sejak kapan ia mulai merindukan suara lembut Arven saat marah-marah? Atau tatapan Elvaron yang hangat saat ia ragu?
Dan kenapa… setiap memikirkan Kael, ia merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya?
---
Keesokan harinya, Master Erthyn memanggil Rania ke menara observasi waktu. Di sana, ia memperlihatkan sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya: peta waktu.
Bukan peta dunia, tapi peta aliran waktu antar dimensi.
Dan di tengah-tengahnya… titik merah yang berkedip cepat.
“Kael berada di celah antara masa,” jelas Erthyn. “Jika terlalu lama di sana, jiwanya akan terjebak. Tapi jika ia berhasil menguasainya… maka waktu bisa ia lipat sesuka hati.”
“Dan dia bisa kembali ke masa depan... membawa aku,” gumam Rania.
“Bukan hanya itu,” jawab Erthyn. “Jika ia memaksamu membuka gerbang utama waktu, maka seluruh dimensi—termasuk Auralis—bisa hancur.”
Rania menatap gelangnya.
Semakin lama, semakin jelas:
Cinta yang ia pikir hanya persoalan hati… ternyata juga persoalan takdir dunia.
---
Malam itu, di taman kerajaan, Elvaron menemuinya lebih dulu.
“Kau tampak letih,” katanya.
“Aku hanya bingung. Dunia terlalu cepat bergerak, Elvaron. Bahkan untuk jantungku sendiri.”
Elvaron tersenyum kecil. “Kau boleh tidak memilih siapa pun, Rania. Tapi jika nanti waktumu habis, dan kau terpaksa memilih... kumohon, jangan memilih karena kasihan.”
Rania menatapnya. Lalu bertanya,
“Kalau kau harus memilih antara menyelamatkan aku atau Auralis, apa yang kau lakukan?”
Elvaron diam lama.
“Aku akan menyelamatkanmu, lalu berperang demi Auralis. Aku tak pernah pandai memilih. Karena bagiku, kau dan negeri ini… sama berharganya.”
Hati Rania mencelos. Kata-kata itu terlalu indah… dan terlalu berbahaya.
Namun tak lama setelah Elvaron pergi, Arven datang—seolah tahu hatinya belum selesai bicara.
“Kau tahu, aku pernah berharap waktu bisa berhenti. Supaya aku bisa bersamamu tanpa ada siapa-siapa, tanpa ada dunia yang menunggu keputusan.”
“Arven…”
“Tapi ternyata... mencintaimu juga berarti membiarkanmu bebas. Kalau suatu hari kau memilih Kael... atau Elvaron... setidaknya aku tahu aku sudah menjagamu dengan jujur.”
Rania tak kuasa berkata apa-apa. Air matanya jatuh begitu saja.
Dan malam itu, ia akhirnya tahu...
Cinta paling sejati… bukan tentang siapa yang paling bisa membuatmu bahagia. Tapi siapa yang bersedia kehilanganmu, agar kau bisa menemukan dirimu sendiri.