Cherreads

Chapter 27 - Bab 27: Dimensi Hening

Dimensi Hening tak seperti tempat mana pun di dunia.

Ia tidak punya langit. Tidak punya tanah. Hanya lautan perak membeku, mengambang tanpa gravitasi. Dan udara? Tak ada. Bahkan suara langkah pun lenyap saat seseorang berjalan di dalamnya.

Dan di sinilah, Rania dan Arven berdiri — hanya berdua, di tengah kekosongan waktu, menatap lurus ke arah pusaran bayangan yang nyaris tak terlihat.

“Suara tidak boleh digunakan di sini,” kata Rania dalam pikirannya.

Arven mengangguk tanpa bicara, lalu menyalakan kristal komunikasi pikiran.

> "Kau yakin ini jalur menuju pusat Bayangan Keempat?"

> "Yakin." Rania mengangguk. "Dan kita tidak boleh salah bicara. Di tempat ini, suara bisa menjadi senjata—atau kutukan."

Karena di Dimensi Hening, setiap suara menjadi gema abadi.

Jika salah satu dari mereka berbicara dengan emosi berlebihan, kalimatnya akan dipantulkan tanpa henti dan bisa menjadi makhluk bayangan yang menyerang penciptanya.

---

Mereka mulai melangkah.

Di antara gelombang perak, muncul refleksi kenangan:

— Rania kecil menangis saat kehilangan ibunya.

— Arven berlutut di tengah hujan saat ditolak oleh ayahnya sendiri.

— Rania… menolak Kael, dengan mata penuh air.

> "Mereka mencoba menggoda kita untuk berbicara," bisik pikiran Arven.

> "Jangan terjebak. Fokus ke pusat gema."

Lalu, setelah dua jam berjalan, mereka melihatnya.

Sebuah menara hitam yang tergantung di udara.

Di sekelilingnya, bayangan-bayangan berputar tanpa arah, membisikkan suara-suara dari masa lalu.

Dan di depan gerbangnya…

Seseorang berdiri.

---

Rania menahan napas. Sosok itu… seorang perempuan.

Tubuhnya ramping. Rambutnya gelap. Matanya seperti cermin—menyimpan cahaya dan bayangan dalam waktu bersamaan.

Lalu suara itu muncul langsung dalam benaknya:

> “Akhirnya kau datang, Rania.”

> “Siapa kau?”

> “Namaku… Aeyra. Aku penjaga sisa masa depan. Dan aku… datang membawa pesan terakhir dari Bayangan Kelima.”

Rania menegang.

> “Bayangan Kelima? Bukankah hanya ada empat?”

Aeyra melangkah maju.

> “Bayangan Kelima… adalah anak dari waktu dan pilihan. Ia bukan kehancuran. Ia adalah pengingat. Aku datang… untuk memperingatkanmu tentang apa yang akan terjadi saat kau tahu siapa sebenarnya ayah Nazer.”

---

Arven dan Rania saling berpandangan.

Aeyra mengangkat tangan, dan muncul fragmen masa depan: sebuah gambar samar dari seorang bayi—digendong oleh Rania. Di belakangnya berdiri seorang pria…

Bayangan gelap menutupi wajahnya.

> “Aku tak bisa menunjukkan wajahnya sekarang,” kata Aeyra. “Karena jika kau tahu terlalu cepat, waktu akan runtuh.”

> “Lalu kenapa kau muncul?”

> “Karena ada sesuatu yang harus kalian temui di menara ini. Seseorang yang menyimpan kunci untuk melawan Bayangan Keempat…”

> “…dan ia hanya akan berbicara jika kau, Rania, mengucapkan satu nama.”

> “Nama siapa?”

Aeyra menatap Rania dalam-dalam, lalu berbisik dalam pikirannya:

> “Kael.”

---

Mereka tiba di gerbang menara. Rania mengangkat tangan, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa jam, ia berani berbicara.

“Kael,” bisiknya.

Dan dunia seketika bergetar.

Bayangan-bayangan melarikan diri. Menara terbuka. Dan di dalamnya…

Seorang lelaki duduk di singgasana kristal hitam. Rambutnya panjang, mata tertutup kain. Tubuhnya lemah, tapi auranya menyala.

> “Selamat datang… Rania.”

> “Kael…?” suara Rania tercekat.

Lelaki itu tersenyum samar. “Aku adalah sisa kesadaranku yang tak ikut gelap. Aku… versi terakhir Kael sebelum Bayangan Keempat mengambil semua dalam diriku.”

Arven mencabut senjatanya, siaga. Tapi Kael mengangkat tangan pelan.

“Aku tak datang untuk bertarung. Aku datang… untuk menyerahkan ini.”

Ia mengulurkan Kristal Takarir — sumber semua jalur waktu yang pernah ia rusak.

“Dengan ini, kau bisa membuka jalur untuk melawan Bayangan. Tapi… ada harga yang harus dibayar.”

> “Apa?” tanya Rania.

Kael menunduk.

> “Kau akan kehilangan satu ingatan penting. Ingatan tentang cinta. Entah Arven… atau seseorang lain.”

Rania menggertakkan gigi.

> “Kenapa selalu aku yang harus kehilangan?”

Kael menatapnya pelan.

> “Karena kau yang dipilih waktu. Dan waktu… tidak pernah memberi tanpa mengambil.”

---

Rania memegang kristal itu. Hangat. Berdenyut. Seperti jantung.

Arven menatapnya. Dalam diam, ia berkata melalui pikirannya:

> “Jika aku yang akan kau lupakan, aku akan tetap memilih untuk bersamamu sekarang.”

Air mata jatuh dari mata Rania.

Ia tahu. Ini bukan pilihan biasa. Tapi pilihan yang akan mengubah segalanya.

Dan ketika ia menggenggam kristal itu…

Cahaya membungkus tubuhnya.

Dan salah satu ingatan pun… terhapus.

---

Di luar, Aeyra menunggu. Ia menunduk hormat.

> “Sekarang… kau siap menghadapi Bayangan Keempat.”

> “Tapi… apa yang terhapus dariku?” tanya Rania lirih.

Aeyra tersenyum.

> “Saat waktunya tiba… kau akan tahu. Tapi saat ini, fokuslah. Karena pusat waktu… mulai retak.”

More Chapters