Cermin Es Tak Berujung tidak memantulkan bayangan siapa pun. Ia memantulkan kemungkinan. Dan ketika Alendra melangkah masuk, dunia di sekitarnya langsung runtuh pelan-pelan.
Ia tak merasakan dingin. Tapi juga tak merasakan hangat. Hanya hampa.
Suaranya hilang. Napasnya seolah melayang.
Dan kemudian—ia melihatnya.
Sebuah dunia.
Tanpa dirinya.
---
Rumah sederhana berdiri di tepian danau biru muda. Seorang perempuan paruh baya—yang Alendra kenal sebagai Rania—sedang menata bunga di teras. Wajahnya damai, senyumnya tulus.
Tak ada mahkota. Tak ada sihir waktu.
Dan yang paling menyakitkan…
> Tak ada bekas luka di matanya.
Tak ada duka mendalam.
Tak ada kehilangan.
Rania yang satu ini tampak utuh.
Di belakangnya muncul Arven, mengenakan pakaian kasual, membawa sekeranjang buah.
Mereka tertawa kecil. Tak ada kerajaan. Tak ada Omega. Tak ada perang.
---
Alendra menatap pemandangan itu, tubuhnya bergetar.
> “Kalau aku tak pernah lahir… Rania tak akan terluka. Ia akan bahagia.”
> “Kaen mungkin masih hidup. Elvaron tak harus bertarung. Reina tak harus mengubur mimpi.”
> “Apa kehadiranku justru awal dari kehancuran semua orang?”
Air matanya mulai jatuh di dalam dimensi cermin.
Lalu suara muncul—datang dari dalam pikirannya sendiri:
> “Kalau kau menghilang sekarang… semua ini bisa jadi nyata.”
> “Tinggalkan dunia itu. Biarkan waktu membentuk ulang jalurnya.”
> “Kau bisa menghapus dirimu, dan menyelamatkan mereka semua.”
---
Alendra terdiam.
Suara itu menyesatkan. Tapi juga menggoda.
Ia nyaris mengulurkan tangannya, menyentuh bayangan Rania yang tertawa bahagia.
Namun sesaat sebelum jarinya menyentuh permukaan dimensi, suara lain muncul.
Lembut. Lemah. Tapi sangat familiar.
> “Alendra…”
Ia menoleh cepat.
Di belakangnya—dalam pantulan redup cermin es—berdiri sosok Kaen, memudar.
> “Kau adalah bagian dari takdir, bukan kesalahan.”
> “Rania hidup… bukan karena ia bebas dari luka, tapi karena ia bertahan dengan cinta.”
> “Dan cinta itu… termasuk dirimu.”
Alendra menangis. Lalu berkata pelan:
> “Terima kasih, Kaen. Aku tak akan menyerah pada kemungkinan kosong.”
Lalu dengan kekuatan batin, ia menutup mata, dan berteriak dalam pikirannya:
> “Kembalikan aku!”
---
Tubuhnya terlempar dari cermin. Nafasnya sesak. Tapi ia kembali menjadi dirinya: Alendra, anak Kael, pewaris waktu.
Di depannya, Putra Es berdiri diam. Lalu mengangguk pelan.
> “Kau melewati ujian. Dan kau tetap memilih dunia yang menyakitkan… demi menyelamatkan orang lain.”
> “Itu bukan kelemahan. Itu keberanian.”
Lalu ia menyodorkan Kristal Saghra—lambang aliansi es yang hanya diberikan pada penggenggam takdir sejati.
Alendra menerimanya, lututnya lemas. Tapi matanya kini lebih kuat dari sebelumnya.
---
Sementara itu…
Di Auralis…
Rania sedang memeriksa ruang rahasia di bawah menara kristal, menyusul petunjuk yang dikirimkan oleh jam bayangan.
Jam itu muncul sendiri di ruang tahtanya, berdetak mundur dengan tulisan:
> “Lihat yang tersembunyi di bawah istanamu sendiri.”
Dengan Reina dan Arven, Rania turun ke kedalaman ruang yang sudah tak digunakan selama puluhan tahun.
Lorong itu dingin. Berdebu. Tapi memiliki jejak sihir yang sangat kuat.
Dan di ujung lorong… mereka menemukan ruang pengarsipan Omega.
> “Tidak mungkin…” Reina gemetar.
Rak-rak penuh catatan rahasia. Sebagian dokumen bahkan bertuliskan:
“Dibocorkan oleh orang dalam: Kode W.”
Rania membuka satu amplop besar. Isinya salinan semua misi Alendra, laporan sihir, dan… jalur rahasia menuju Gerbang Penghapus Waktu yang hanya diketahui lima orang saja.
Arven menatap tajam. “Seseorang membocorkan ini.”
Rania mengepal tangannya. “Dan kode ‘W’… bisa berarti apa saja.”
Reina menatap catatan lain. “Atau… bisa jadi singkatan nama.”
Mereka saling berpandangan.
Dan untuk pertama kali, kecurigaan muncul di hati Rania…
> “Jangan-jangan… pengkhianatnya adalah seseorang yang selama ini bersamaku di dalam istana.”
---
Malam itu, kabut hitam muncul di batas utara Auralis.
Satu cahaya merah Omega menyala di langit.
Dan dari ruang pengarsipan, Reina menemukan satu pesan baru yang tertulis dengan darah:
> "Cermin hanya menampakkan kebenaran. Tapi kalian memilih hidup dalam kebohongan."
> "Kami sudah ada di antara kalian."
> "Dan kalian bahkan tidak tahu… siapa yang akan kalian tangisi berikutnya."
---
Rania menatap tulisan itu.
Darah di dinding.
Lambang Omega di bawahnya.
Matanya mulai berkaca-kaca lagi. Tapi kali ini bukan karena kelemahan.
Melainkan karena ketegasan yang lahir dari luka.
> “Kalau kalian ingin menghancurkan hidupku satu per satu…”
> “…maka kalian harus siap menghadapi seorang ratu… yang sudah tak punya apa-apa lagi untuk hilang.”