Cherreads

Chapter 36 - Bab 36: Salju Terakhir dan Jiwa yang Tak Kembali

Langit Auralis kelabu, seakan tahu sesuatu akan hilang. Tapi tak ada yang benar-benar siap, bahkan bagi Rania, sang Ratu Waktu, yang telah menyaksikan banyak hal pergi dari hidupnya.

---

Sudah tiga hari sejak Alendra dan tim kecilnya berangkat menuju dimensi Saghra. Mereka membawa harapan terakhir untuk membentuk Aliansi Cahaya, melawan Omega, dan menutup Gerbang Penghapus Waktu yang mulai terbuka di langit Auralis.

Namun pagi itu, angin di lorong istana berhembus aneh. Tak seperti biasanya.

Reina datang tergesa-gesa, wajahnya pucat.

“Rania… sinyal Kaen terputus.”

Rania berhenti membaca laporan sihir. “Apa maksudmu?”

“Sinyal pelacak waktu Kaen—hilang. Dalam satu ledakan besar di Saghra. Elvaron mengirimkan fragmen kristal rekaman. Aku… tak bisa memutar semuanya.”

Dengan tangan gemetar, Rania mengambil kristal dan menempatkannya di dalam mangkuk air suci.

Suara rekaman terdengar lirih:

> “...Elvaron, lindungi dia. Aku akan—”

> Ledakan.

Gemuruh es pecah.

Dan… hening.

---

Rania menjatuhkan kristal itu. Matanya kosong. Jantungnya seperti berhenti berdetak.

> “Tidak…”

> “Tidak Kaen…”

Ia berdiri, namun tubuhnya lemas. Reina mendekapnya, tapi Rania menepis pelan.

“Aku harus—aku harus—pergi ke sana—” suaranya bergetar.

Arven datang dari arah berlawanan dan segera menggenggam bahunya.

“Rania, dengarkan aku dulu…”

> “Dia... dia bukan hanya penjaga.”

“Dia… yang memelukku waktu aku kehilangan ibuku.”

“Yang menjahitkan selimut pertamaku. Yang tahu semua tangisanku sejak aku kecil.”

“Yang bilang aku cukup kuat… saat semua orang ragu aku bisa jadi ratu.”

Suaranya pecah di ujung kalimat itu.

> “Kenapa... bukan aku saja yang menghilang?”

---

Malam itu, Rania mengurung diri di Ruang Kristal.

Ia tak mau bicara. Tak mau makan. Tak mau menyentuh sihir.

Ia duduk di lantai, memeluk mantel tua milik Kaen yang dikirim oleh Elvaron—bagian lengan kirinya sobek, penuh bercak darah beku dan salju.

Di saku mantel itu… ada secarik surat kecil, tulisan tangan Kaen:

> Ratu kecilku,

Kalau suatu hari waktumu retak, berdirilah di atas cinta yang pernah kau terima. Bukan untuk melupakan, tapi untuk tetap hidup.

Karena cinta itu… tidak pernah benar-benar pergi.

— Kaen

Rania menggigit bibir, berusaha menahan tangis.

Tapi tangis itu pecah juga.

Tangis hening.

Tangis seorang ratu yang kehilangan bagian dari dirinya sendiri.

> “Kaen… aku bahkan tak sempat mengucapkan terima kasih…”

> “Aku tak bisa menyelamatkanmu…”

> “Dan sekarang… aku takut pada diriku sendiri.”

---

Di luar ruangan, Arven dan Reina duduk menunggu.

Jam-jam sihir di lorong mulai melambat. Dinding istana bergetar lembut. Auralis merasakan duka penguasanya.

Arven menatap Reina. “Kita harus lakukan sesuatu. Kalau Rania terus begini…”

Reina menunduk. “Auralis akan runtuh perlahan… tanpa peperangan sekalipun.”

---

Hari kedua, Rania masih tak keluar.

Hari ketiga, kabut menyelimuti menara kristal.

Hari keempat, Reina masuk diam-diam dan mendapati Rania masih di posisi sama. Matanya sembab. Rambutnya kusut.

Reina berlutut di depannya.

> “Rania… aku tahu rasanya kehilangan.”

> “Tapi kalau kau menyerah sekarang, kematian Kaen akan sia-sia.”

> “Dan Omega akan menang… bahkan tanpa mengangkat senjata.”

Rania hanya diam.

Reina menggenggam tangannya.

> “Kaen percaya padamu. Sampai detik terakhir. Jangan biarkan rasa bersalah mengubur kekuatanmu.”

Lama Rania tak menjawab. Tapi akhirnya, dengan suara hampir tak terdengar:

> “Kalau aku bangkit… aku harus belajar hidup tanpa orang yang membuatku ingin hidup.”

> “Kau siap berdiri sendiri?” tanya Reina lembut.

> “Tidak…”

> “…tapi aku akan mencoba.”

---

Sore itu, Rania berjalan pelan ke balkon tertinggi Auralis. Angin dingin menyambutnya.

Arven berdiri di sana, menunggu dengan sehelai jubah ungu.

“Selamat datang kembali, Ratu Waktu,” katanya lembut.

Rania tersenyum tipis. Tapi matanya tetap berkaca-kaca.

> “Aku belum sembuh. Tapi aku tahu… aku tidak boleh membiarkan duniaku mati karena aku berhenti bergerak.”

Arven mengangguk. “Kaen pasti bangga padamu.”

Rania menatap langit.

> “Ini untuknya. Dan untuk semua yang pernah percaya padaku…”

> “Aku akan terus hidup. Meski harus membawa luka ini seumur hidupku.”

---

Sementara itu, di dimensi Saghra…

Alendra berdiri di depan Putra Es, penguasa dingin yang bangkit dari tidur 80 tahun.

Wajahnya tajam. Suaranya dingin.

> “Kau ingin bantuanku, Putri Waktu?”

“Buktikan bahwa kau bisa mengorbankan sesuatu.”

“Masuki Cermin Es Tak Berujung. Dan lihat… kehidupan yang akan kau miliki jika kau tidak pernah dilahirkan sebagai anak Kael.”

Alendra menoleh ke Elvaron. “Kalau aku melihatnya, mungkin aku tak akan kembali jadi diriku.”

Elvaron menatapnya dalam-dalam. “Tapi jika itu bisa menyelamatkan dunia, kau akan melakukannya, kan?”

Alendra mengangguk perlahan.

Dan ia pun melangkah ke dalam cermin yang bersinar biru.

Sementara di Auralis…

Rania berdiri tegak di ruang tahta.

Matanya belum sembuh.

Tapi jiwanya sudah siap.

> “Aku kehilangan orang yang aku sayangi…”

> “Tapi aku tak akan kehilangan harapan.”

> “Omega… tunggu aku. Karena luka ini, akan jadi kekuatan untuk melawanmu.”

More Chapters