“Rania…”
Suara itu berbisik saat malam turun di istana Auralis.
Rania terbangun. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Mimpinya kembali dipenuhi bayangan Sarin—dengan wajah Bayu—yang memanggilnya dari balik kabut waktu. Matanya… kosong. Tapi seolah menyimpan sesuatu yang ingin dikembalikan.
> “Kau menyimpan kenangan tentangku, Rania.
Kenangan itu cukup kuat untuk membentukku.”
Rania duduk di pinggir ranjangnya. Jam waktu di samping tempat tidur berdetak tak stabil—terkadang cepat, terkadang melambat.
> Waktu di sekelilingnya mulai rusak.
---
Pagi harinya, Kaen dan Alendra memeriksa laporan dari para penjaga dimensi.
“Ada penduduk yang tiba-tiba berbicara dalam bahasa Dantara, padahal mereka berasal dari Saghra. Ada juga yang lupa nama anak mereka sendiri,” kata Reina, sambil membentangkan peta dimensi.
“Ini bukan hanya retakan waktu…” Alendra menunjuk pusaran energi. “Ini… invasi kenangan.”
Kaen berdiri di belakang Rania. Ia bisa melihat tubuh kekasihnya itu mulai melemah.
“Setelah Rania bertemu Sarin, pusat waktu di tubuhnya terganggu,” kata Elvaron. “Jika dibiarkan, dia bisa… kehilangan sebagian dirinya.”
Rania mengepalkan tangan. “Aku tak akan membiarkan itu terjadi. Aku harus tahu cara menghentikan Sarin sebelum dia memporakporandakan Auralis.”
Kaen menatapnya dengan khawatir. Tapi ia tahu… Rania tak akan mundur.
---
Hari itu, Alendra membawa Rania ke Menara Sisa Waktu, tempat di mana semua catatan dimensi dan sejarah ditulis oleh para penjaga terdahulu.
Mereka mencari dalam ratusan buku sihir, lembaran dimensi, dan prasasti kuno.
> Hingga mereka menemukan satu gulungan yang tertutup debu perak.
Isinya singkat. Tapi menohok:
> “Makhluk dari Dimensi Kelima tak bisa dihancurkan oleh kekuatan biasa.
Mereka hanya bisa dilenyapkan jika satu kenangan paling kuat dikorbankan.
Kenangan itu… akan hilang dari ingatan, dan tak bisa dikembalikan.”
Rania menelan ludah.
> “Satu kenangan terbesar…?”
Alendra mengangguk. “Dan hanya pemilik kenangan itu yang bisa memutuskan.”
---
Malamnya, Rania duduk sendiri di taman dimensi.
Ia memandangi telapak tangannya, lalu menggenggam jam waktu kedua yang dulu membawanya kembali ke Auralis.
> Kenangan apa yang harus ia lepaskan?
Kaen datang, duduk di sebelahnya.
“Kalau aku bisa memilih menggantikanmu mengorbankan kenangan itu, aku akan lakukan,” katanya lembut.
Rania tersenyum. “Tapi itu harus dariku, Kaen. Dan aku tahu… aku harus jujur pada diriku sendiri.”
Ia menunduk.
> Kenangan terbesar dalam hidupnya…
Bukan Kaen.
Bukan Alendra.
Tapi kenangan tentang dirinya sendiri… saat pertama kali merasa dicintai.
> Bukan saat ia mencintai Bayu, tapi saat ia percaya bahwa ia layak dicintai.
Dan itu… adalah momen ketika Kaen menyentuh pipinya di Ruang Waktu pertama kali.
“Kalau aku lepaskan kenangan itu… mungkin aku akan lupa mengapa aku jatuh cinta padamu, Kaen,” ucap Rania dengan air mata menggantung.
Kaen menggenggam tangannya, kuat. “Tapi kita akan menciptakan kenangan baru. Aku akan buat kau jatuh cinta padaku lagi, kalau perlu setiap hari.”
Rania menahan isak.
> Haruskah ia rela melupakan awal dari cinta yang menyelamatkannya… demi menyelamatkan Auralis?
---
Malam itu juga, ia berdiri di tengah Lingkaran Penukar Kenangan, sebuah altar kuno di puncak Menara Dimensi.
Reina, Alendra, Elvaron, dan Kaen berdiri di sekelilingnya.
> Di hadapannya, Sarin muncul dari kabut waktu.
Sosok itu… masih mengenakan wajah Bayu.
“Jadi kau memilih menghapusku?” tanya Sarin dengan suara datar.
Rania menggeleng pelan. “Aku memilih menyelamatkan dunia… meski harus melupakan sesuatu yang paling indah dalam hidupku.”
Ia menutup mata. Mengangkat jam waktu.
Dan berbisik:
> “Aku serahkan kenangan tentang pertama kali aku tahu bahwa aku pantas dicintai…
…agar Auralis bisa bertahan.”
Cahaya putih meledak dari dalam jam.
Sarin menjerit. Wajah Bayu meleleh menjadi asap.
> Dan dalam sekejap…
Sarin menghilang.
Dimensi kelima… tertutup.
---
Rania terjatuh.
Kaen menahan tubuhnya. Tapi ia tahu—mata Rania berubah.
Tak ada lagi cahaya ketika ia menatap Kaen.
Tak ada lagi isyarat kenangan pertama.
Ia… melupakannya.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Kaen pelan.
Rania menatapnya. Tersenyum tipis.
“Sepertinya… kita pernah bertemu ya?”
Kaen menunduk. Hatinya perih. Tapi ia tersenyum.
> “Ya. Kita pernah bertemu.
Dan aku akan pastikan… kita bertemu lagi setiap hari.”