Cherreads

Chapter 49 - Bab 49: Ketika Hati Mengingat, Tapi Pikiran Lupa

Sudah tiga hari sejak Sarin menghilang.

Auralis perlahan kembali tenang. Distorsi waktu menghilang. Bunga api dan salju kembali tumbuh serasi. Penjaga dimensi melapor bahwa perputaran waktu telah kembali ke jalur normal.

Namun… sesuatu dalam diri Rania masih terasa salah.

---

Ia duduk di taman istana saat Kaen datang dengan dua cangkir teh hangat.

"Katanya kamu suka teh bunga langit," ujarnya, mencoba santai.

Rania menerima cangkir itu, mencium aromanya. Lalu mengangguk pelan.

“Lucu, ya… Aku merasa teh ini akrab. Tapi aku tak tahu dari mana.”

Kaen tersenyum kecut. “Mungkin… tubuhmu lebih jujur daripada ingatanmu.”

Rania menatapnya. “Kaen, boleh aku tanya?”

“Tentu.”

“Kita ini… pernah jatuh cinta, ya?”

Pertanyaan itu menohok. Tapi Kaen tetap tersenyum, tenang.

> “Aku jatuh cinta padamu, sejak kau muncul dari celah dimensi.

Dan kau… pernah mencintaiku juga. Tapi sekarang, aku siap menunggu hatimu menemukanku lagi.”

Rania tersenyum kecil. Tapi dadanya sesak oleh sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.

> Ia tidak mengingat rasa itu.

Tapi saat duduk dekat Kaen… jantungnya selalu berdetak lebih cepat.

---

Sementara itu, di ruang observasi dimensi, Alendra dan Reina menemukan denyut aneh dari inti waktu Auralis.

“Ini bukan retakan,” kata Reina sambil menatap kristal energi. “Tapi seperti… degupan.”

“Degupan?” Elvaron mengerutkan dahi.

Alendra mengangguk. “Seolah sesuatu sedang tumbuh dari dalam… sesuatu yang tidak terdaftar dalam dimensi mana pun.”

“Jangan bilang—” Reina menahan napas.

“—bahwa dengan menghapus satu kenangan terbesar, kita membuka ruang bagi sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya,” bisik Alendra.

---

Hari itu, Rania berjalan sendiri ke Ruang Jam Pertama—ruangan tempat ia dan Kaen dulu pertama kali menyentuh waktu bersama.

Ruang itu terasa asing. Tapi hatinya bergetar hebat saat ia memasuki lingkarannya.

Tiba-tiba, kilasan muncul di matanya. Kilasan samar—tangan seseorang menyentuh pipinya, mata lembut menatapnya dalam.

Rania terhuyung. Jantungnya memukul keras dadanya.

> “Kenapa… aku merasa pernah bahagia di tempat ini?”

“Kenapa… tubuhku menangis tapi aku tak tahu sebabnya?”

Ia duduk di lantai, terisak. Tak tahu kenapa.

Kaen menemukannya di sana. Ia tak berkata apa-apa. Hanya duduk di sebelah Rania dan menggenggam tangannya.

> Tak perlu kata.

Cinta mengenali jalannya sendiri.

---

Malam itu, langit Auralis berubah.

Bintang-bintang berpindah arah, membentuk spiral seperti mata pusaran.

Di tengah langit, muncul cahaya hijau tua—warna yang tidak pernah ada dalam spektrum Auralis, Dantara, maupun Saghra.

Reina berlari ke balkon observasi.

“Elvaron! Apa itu?!”

Elvaron sudah berdiri di sana, wajahnya pucat.

“Itu… bukan dari dimensi mana pun yang pernah kita tahu.”

Alendra muncul, membawa catatan tua.

“Ada satu teori,” katanya pelan. “Jika seseorang menghapus kenangan paling kuat, maka energi kenangan itu tidak hilang begitu saja. Ia… bisa menjelma menjadi bentuk baru.”

Reina menelan ludah. “Jadi itu… bentuk dari kenangan Rania?”

Elvaron menggeleng. “Bukan. Itu… bentuk dari kenangan yang ditolak dunia. Sebuah entitas.”

> Entitas baru.

Lahir dari luka terdalam…

Dan tidak terikat waktu.

---

Di kamarnya, Rania berdiri di depan cermin.

Ia menatap wajahnya sendiri—dan untuk sepersekian detik, ia melihat bayangan dirinya yang menangis dalam gaun pengantin Auralis.

Ia mundur. Takut.

> Ia tak tahu… bahwa itu adalah kenangan yang telah ia buang.

Tapi cerminnya tahu.

Dunia tahu.

Saat ia menyentuh kaca, ia berbisik:

> “Siapa aku sebenarnya?”

“Dan… kenapa hatiku begitu hampa tanpa alasan?”

---

Kaen masuk ke kamar perlahan.

“Kau melihatnya juga, ya?” bisiknya.

Rania mengangguk. “Aku takut, Kaen. Aku merasa aku kehilangan sesuatu yang sangat penting. Tapi aku tak tahu apa.”

Kaen menarik napas panjang. “Kau kehilangan bagian dari dirimu… karena kau menyelamatkan semua orang.”

Ia menatapnya penuh keteguhan.

“Tapi bagian itu akan kembali. Mungkin tidak sebagai kenangan. Tapi sebagai sesuatu yang baru.”

Rania menatap matanya.

Dan untuk pertama kalinya…

> Ia merasakan dorongan untuk menyentuh wajah Kaen.

Bukan karena teringat.

Tapi karena merasakan.

---

Di akhir malam itu, Auralis terguncang.

Cahaya hijau tua menembus inti waktu.

Dan dari tengah pusaran itu… muncul sosok berjubah hitam. Tidak memiliki wajah. Tapi dari tubuhnya, keluar bisikan:

> “Aku adalah kenangan yang kalian buang.”

“Aku adalah rasa yang tidak kalian akui.”

“Dan aku… akan menuntut tempatku.”

More Chapters