Pagi datang dengan angin sejuk yang membawa aroma bunga lavender dari taman istana. Rania terbangun dengan rasa yang aneh di dada—antara kenyataan dan mimpi, antara takut dan penasaran yang belum habis sejak malam tadi.
Ia mengenakan gaun tipis warna biru muda yang disiapkan pelayan istana. Terlalu panjang, terlalu formal, dan terlalu… bukan dirinya. Tapi setidaknya tidak membuatnya sulit bernapas seperti korset di film kolosal yang pernah ia tonton.
“Selamat pagi, Lady Rania,” sapa seorang pelayan bernama Lera yang selalu tersenyum meski Rania terus memanggilnya “Mbak” sejak hari pertama.
“Hari ini apa lagi agendanya?” tanya Rania sambil menggulung rambut panjangnya seadanya.
“Paduka Arven ingin Lady Rania bertemu dengan Master Erthyn, penulis sejarah dan pengamat waktu.”
Rania mengerutkan kening. “Pengamat waktu? Maksudnya kayak... manusia jam berjalan?”
Lera tertawa pelan. “Beliau yang bisa membaca arah waktu dari tanda-tanda kecil: matahari, bayangan jam, bahkan detak hati seseorang.”
“Okay... itu terdengar mistis banget.”
Tak lama, dua pengawal mengantar Rania ke bagian sayap barat istana—tempat perpustakaan tua yang katanya hanya boleh dimasuki oleh bangsawan berdarah kerajaan.
Dan di sanalah ia bertemu Master Erthyn—pria tua berjanggut perak, dengan mata tajam dan senyum yang bijak.
“Selamat datang, Putri Waktu,” katanya ramah, meski membuat Rania salah tingkah.
“Please, cukup Rania aja. Aku bukan putri siapa-siapa.”
“Belum,” bisik Master Erthyn, lalu menunjuk satu lukisan besar yang tergantung di dinding perpustakaan tua itu.
Rania mendekat.
Lukisan itu menggambarkan seorang perempuan berambut gelap, berdiri di tengah jam pasir yang membelah waktu. Di belakangnya, berdiri dua pria.
Yang satu, jelas Arven—sorot matanya dingin, penuh ketegasan.
Tapi yang satu lagi…
Wajahnya mirip Arven, tapi berbeda. Rambutnya lebih panjang, matanya lebih hangat, dan senyumnya… seolah bisa menghentikan badai.
“Siapa dia?” tanya Rania pelan, tak bisa mengalihkan pandangan.
Master Erthyn tersenyum samar. “Pangeran kedua yang telah lama menghilang. Namanya Elvaron.”
“Dia… saudara Arven?”
“Saudara kembar. Tapi dia lenyap saat badai waktu menghancurkan salah satu menara utara tiga tahun lalu.”
Rania menelan ludah. Wajah pria itu… entah kenapa, terasa familiar. Seolah ia pernah melihatnya. Seolah pria itu… hadir dalam mimpinya semalam, memanggil namanya.
“Kenapa dia bisa hilang?”
“Seseorang memanfaatkan celah waktu untuk menculiknya. Atau mungkin… dia sendiri yang membuka gerbang itu.”
Rania mundur selangkah. “Jadi bisa jadi dia sekarang hidup di masa lain?”
Master Erthyn mengangguk.
Dan di saat yang sama, gelang waktu di tangan Rania tiba-tiba bersinar lembut. Detak jam kecil di dalamnya berdetak pelan… tapi jelas.
Tik… tik… tik…
Seolah merespons sesuatu. Atau… seseorang.
Suara langkah menghentak lantai marmer membuat mereka berdua menoleh.
Arven muncul, mengenakan pakaian resmi dengan emblem kerajaan di bahunya. Sorot matanya tertuju langsung ke gelang di tangan Rania.
“Kau merasakannya juga?” tanya Arven cepat.
“Merasa apa?”
“Getaran waktu. Seseorang dari masa lain… sedang mencoba masuk.”
Dan sebelum Rania sempat menjawab, bayangan cahaya memancar dari lukisan di dinding.
Wajah Elvaron… perlahan bergerak, memandang langsung ke arah Rania.
Lalu… ia tersenyum.