Istana Auralis tak pernah sehening ini.
Setelah kejadian semalam—kemunculan tiruan Rania yang nyaris menipu semua orang—kepercayaan di dalam tembok-tembok emas itu mulai runtuh perlahan. Bukan karena Rania berbuat salah, tapi karena rasa takut yang ditinggalkan R1N4 merayap seperti kabut gelap.
Siapa yang bisa membedakan kenyataan dari tiruan?
Bahkan cermin pun bisa berbohong.
---
Pagi itu, Rania duduk di ruang strategis bersama Reina dan Elvaron. Arven belum tampak sejak fajar. Tidak ada sapaan, tidak ada kabar.
“Dia belum bisa menerima semuanya,” ujar Reina pelan.
Rania menatap meja kayu di hadapannya, di mana peta dimensi waktu tergambar. Tapi pikirannya tak tertuju pada strategi. Ia memikirkan satu hal:
> “Apa aku terlihat cukup nyata di mata mereka?”
Master Erthyn masuk dengan selembar surat di tangan.
“Ini dari Dewan Bangsawan,” katanya tegas. “Mereka menginginkan verifikasi… bahwa kau memang Rania yang asli. Jika tidak, mereka akan membentuk dewan sementara untuk mengatur waktu Auralis.”
Rania terdiam.
“Elvaron, kau mendengarnya?”
Elvaron mengangguk, wajahnya mengeras.
“Mereka takut. Dan ketika orang takut, mereka mencari siapa pun yang bisa dikambinghitamkan.”
Reina berdiri. “Maka kita buktikan siapa dirimu. Tapi bukan dengan kata-kata… dengan sejarahmu.”
---
Sore itu, Rania dan Reina menuju ruang artefak waktu. Di sana, tersimpan benda-benda peninggalan dari perjalanan Rania di masa lalu—yang tidak mungkin ditiru oleh R1N4.
Reina memegang satu artefak berbentuk kalung kristal kecil. “Ini pernah kau simpan diam-diam di bawah tempat tidur waktu kecil, ingat?”
Rania tersenyum tipis. “Aku takut itu akan hilang kalau kutaruh di rak utama.”
Reina menyerahkan benda itu ke Rania. Ketika kalung itu menyentuh kulitnya, cahaya biru menyala—sinyal bahwa waktu mengenal pemiliknya.
“Benda-benda ini adalah saksi,” kata Reina. “Mereka akan membuktikanmu.”
---
Tapi saat itu juga, kabar mengejutkan datang.
Arven akhirnya muncul. Tapi ia tidak datang sendiri.
Ia datang bersama dua anggota tertua dari Dewan Bangsawan Auralis.
Dua orang itu menatap Rania dengan dingin, sopan… dan ragu.
“Putri Rania,” kata salah satu dari mereka, seorang pria tua bersorban emas, “maafkan ketidaksopanan kami. Tapi setelah kemunculan sosok yang menyerupaimu kemarin malam, kami… harus memastikan.”
Rania mengangguk. “Lakukan apa pun yang kalian butuhkan.”
Pria itu menoleh pada pelayan di sampingnya, yang lalu menyerahkan Cermin Kenangan.
Sebuah alat tua yang bisa memperlihatkan satu peristiwa penting dari masa lalu seseorang—asal ingatan itu milik orang tersebut, bukan tiruan.
“Pilih satu kenangan yang tidak diketahui siapa pun. Kalau benar kau pemiliknya, maka cermin ini akan menghidupkannya.”
Rania menarik napas.
Ia menutup mata.
Lalu perlahan menyentuh permukaan cermin itu.
Gambaran kabur muncul… lalu semakin jelas.
Seorang anak perempuan… bersembunyi di bawah meja, menangis diam-diam. Tangannya menggenggam gambar seorang ibu, dan matanya sembab.
“Aku janji akan pulang… Mama…”
Tangisan itu menggema di seluruh ruangan.
Dan seketika, para bangsawan terdiam.
Itu… bukan hal yang bisa diciptakan.
Itu luka.
Dan luka tidak bisa dipalsukan.
---
Setelah para bangsawan pergi, Elvaron memegang tangan Rania.
“Mereka akan mulai percaya. Tapi ini bukan akhir.”
Rania tersenyum tipis. “Aku tidak butuh mereka semua percaya. Cukup mereka yang bertarung bersamaku.”
---
Malam harinya, Arven mendatangi kamar latihan waktu Rania. Ia berdiri di ambang pintu, ragu.
“Aku… sempat takut, Rania.”
Rania berdiri dari kursinya. “Kau tidak sendiri. Bahkan aku pun… meragukan diriku sendiri.”
Arven menatap matanya.
“Tapi saat kau muncul di aula… dan kau tidak berusaha membela dirimu dengan banyak kata, tapi dengan keberanian… aku tahu.”
Ia melangkah pelan, mendekat.
“Kau bukan tiruan. Kau yang membuatku jatuh hati… dan aku tetap di sini karena itu.”
Rania menahan napas.
Arven mengangkat tangannya, menyentuh pipinya perlahan.
Dan untuk pertama kalinya… tidak ada lagi pertanyaan.
Yang tersisa hanya ketulusan.
Dan kemungkinan… bahwa cinta, perlahan, mungkin menemukan tempatnya.