Pagi. Langit Auralis cerah seperti biasa. Burung-burung langit terbang rendah, dan matahari menggantung tenang di timur.
Tapi Rania tahu, ada yang salah.
Bukan pada udara.
Bukan pada suasana.
Tapi pada detik-detik yang berjalan terlalu… sempurna.
---
“Selamat pagi, Putri Rania.”
Suara pelayan menyambut seperti biasa saat ia membuka pintu kamarnya. Wangi teh andalasia tercium, dan pakaian hari ini sudah disiapkan: jubah biru laut dengan bordiran lambang jam pasir kerajaan.
Rania menyentuh gelang waktu di pergelangan tangannya. Normal.
Namun perasaan tak nyaman tetap berdiam di dadanya.
“Pelayan tadi... sepertinya sama persis dengan kemarin,” bisiknya.
Dan saat ia turun ke ruang makan utama, Reina sudah duduk di sana, membaca gulungan waktu.
“Pagi,” sapa Rania pelan.
Reina menjawab dengan kalimat yang persis sama seperti kemarin.
> “Selamat pagi, Rania. Auralis terasa terlalu damai hari ini, ya?”
Rania mengernyit. Jantungnya mulai berdebar tak nyaman.
> Ini bukan kebetulan.
> Ini pengulangan.
---
Siangnya, Rania berjalan ke taman belakang. Dan di sana… Arven menunggunya.
Sama seperti hari sebelumnya.
Dengan senyuman yang sama.
Dengan pertanyaan yang sama: “Kau terlihat lelah hari ini. Mimpi buruk?”
Rania membeku.
Ia berlari kembali ke ruang kristal. Reina menyusul dengan ekspresi bingung.
“Rania, kau kenapa?”
Rania membuka buku waktu harian. Tangannya gemetar.
Tanggal hari ini: 18 Xelvaris.
Ia membuka halaman kemarin.
Tanggal: 18 Xelvaris.
Lalu hari sebelumnya…
Masih 18 Xelvaris.
Reina membaca cepat. Matanya membelalak.
“Kita… terjebak dalam pengulangan waktu.”
---
Sementara itu, di menara penjaga waktu, Master Erthyn menemukan sesuatu yang mengejutkan: gema suara dari masa depan.
Sebuah rekaman sihir mulai berulang sendiri.
> “Kau pikir waktu akan terus berjalan lurus? Tidak, Rania.”
> “Aku hanya perlu membengkokkannya satu kali… dan kalian semua akan hidup dalam kesalahan selamanya.”
> “Sampai kau sadar bahwa pilihanmu... adalah awal kehancuranmu.”
Suara itu…
Kael.
---
Reina menutup buku waktu dengan suara keras.
“Kita masuk ke fase kedua dari perang waktu. Kael mulai memanipulasi struktur waktu, bukan hanya individunya.”
“Berapa lama kita terjebak?” tanya Rania.
“Kita belum tahu. Bisa jadi berhari-hari. Bisa jadi… berbulan.”
“Kenapa aku masih ingat semuanya?”
Reina menghela napas panjang. “Kau adalah Jantung Waktu. Waktu menandaimu sebagai pusat. Jadi kau sadar saat ia rusak.”
---
Malam itu, Elvaron kembali dari misi ke Menara Utara, hanya untuk mendapati suasana istana kacau.
“Apa yang terjadi?” tanyanya.
Rania menjelaskan semuanya.
Elvaron langsung menggenggam tangannya. “Kau tidak sendiri.”
Tapi sebelum mereka sempat berdiskusi lebih jauh, sesuatu terjadi.
Gelang waktu Rania tiba-tiba menyala sendiri.
Simbol di tengahnya berkedip cepat.
Dan suara muncul dari dalam gelang — bukan suara Kael, tapi suara dirinya sendiri.
> “Jangan percaya semua yang kau lihat. Bukan hanya waktu yang rusak… tapi dirimu.”
Rania mundur selangkah. Elvaron langsung bersiap siaga.
“Suara itu…”
Reina mendekat, wajahnya menegang. “Itu… adalah fragmen masa depanmu. Sebagian dari dirimu yang mungkin muncul jika kau memilih jalan yang salah.”
---
Hari berikutnya kembali berulang.
Langit sama. Makanan sama. Kalimat-kalimat sama.
Rania tak tahan.
“Aku harus memotong lingkaran ini,” katanya pada Reina.
“Bagaimana caramu memotong waktu yang sudah dilipat?”
Rania menggenggam gelangnya erat. “Dengan kembali ke titik asalnya. Aku harus menemukan momen pertama waktu mulai retak.”
“Dan itu?” tanya Reina.
“Waktu aku memutus jalur Kael di ruang bawah tanah.”
---
Malam itu, Rania masuk sendirian ke ruang lingkaran waktu.
Ia berdiri di tengah simbol kuno, mengenakan jubah kristal, dan memusatkan energi pada satu hal:
> “Aku ingin kembali ke saat waktu mulai salah.”
Cahaya menyilaukan.
Gema mengguncang.
Dan saat ia membuka mata, ia tidak berada di istana.
Ia berada di ruang kosong dimensi Kael.
Dan Kael… berdiri tepat di depannya.
Tersenyum tipis.
“Selamat datang kembali di akar waktu, Rania.”