Di tengah ruang akar waktu yang membeku, dua sosok berdiri saling berhadapan.
Satu adalah Rania—putri kerajaan Auralis, yang membawa luka, cinta, dan keberanian yang tak selalu sempurna.
Yang satu lagi… R1N4 versi baru—tiruan sempurna dengan kekuatan maksimal, tanpa beban emosional, tanpa kenangan yang menghalangi.
Angin sihir berhembus tanpa suara. Ruang sekeliling mereka berdenyut, memperbesar ketegangan.
Rania menatap versi tiruannya. Kali ini, bukan sekadar wajah atau suara yang mirip. Tapi gerakan tubuh, cara menatap… bahkan nafasnya pun nyaris tak bisa dibedakan.
“Jadi kau… ciptaan Kael yang paling sempurna?” tanya Rania dingin.
Tiruan itu menjawab, “Aku bukan ciptaan. Aku adalah potensi dirimu yang paling kuat. Aku adalah Rania tanpa luka. Rania tanpa rasa ragu. Rania yang tidak butuh siapa pun untuk menjadi hebat.”
Deg.
Kata-kata itu menghantam Rania seperti palu tak terlihat. Karena di lubuk hatinya… ia tahu, ada bagian dari dirinya yang pernah berharap seperti itu.
> "Andai aku tak mencintai siapa pun… aku takkan sering tersakiti."
Tapi…
Rania menarik napas panjang.
“Menjadi kuat bukan berarti menghilangkan rasa. Menjadi hebat bukan berarti harus sendirian.”
Tiruan Rania mengangkat tangannya.
“Kalau begitu… mari kita buktikan siapa yang layak bertahan.”
---
Pertarungan pun dimulai.
Rania menyerang lebih dulu—mengarahkan energi waktu yang dipusatkan dari gelangnya. Ledakan cahaya biru menyambar ke arah duplikatnya, tapi dengan lincah R1N4 menghindar dan membalas dengan gelombang balik yang jauh lebih cepat.
Rania terpental beberapa meter, tapi bangkit dengan cepat.
“Aku tahu setiap langkahmu,” kata R1N4. “Karena aku adalah kamu.”
Rania mengerutkan alis. Ia tahu kekuatan fisik bukan jalan menang. R1N4 bukan hanya tahu cara bertarung… tapi juga cara berpikirnya.
Maka ia berhenti.
Dan mulai… berpikir dengan cara berbeda.
---
Sementara itu, di istana Auralis, Arven dan Elvaron merasa waktu mulai bergetar. Mereka berdiri di ruang jam utama, menyaksikan kristal waktu menunjukkan dua garis takdir—keduanya bertuliskan “Rania”.
Reina menggigit bibirnya. “Kalau Rania kalah… kita mungkin takkan pernah tahu siapa yang tersisa.”
Arven mengepalkan tangan. “Dia tidak akan kalah. Karena hanya satu Rania yang memiliki sesuatu yang tak bisa ditiru.”
“Cinta?” tanya Reina pelan.
Arven menatapnya. “Jiwa.”
---
Kembali di akar waktu, duel semakin panas.
Rania mulai mengganti taktik. Alih-alih menyerang secara langsung, ia memanggil simbol-simbol emosi yang tertanam dalam sihir leluhur kerajaan—energi dari kenangan.
Ia mengaktifkan Kristal Kenangan Pertama, benda yang menyimpan suara ibunya.
Saat cahaya merah muda melayang di udara, suara lembut terdengar:
> “Nak… jangan takut jadi lemah. Kadang, kelemahan kita justru menyelamatkan orang lain.”
R1N4 terguncang.
Ia terdiam beberapa detik.
“Suara itu…”
Wajahnya terlihat goyah.
Rania melangkah maju. “Kau tak bisa menirukan rasa kehilangan. Tak bisa menirukan pelukan yang tidak lagi bisa kurasakan. Kau hanya tahu data, bukan luka.”
R1N4 mengerang. Tubuhnya bergetar.
“Aku tidak… butuh itu! Aku lebih kuat dari dirimu!”
Dan ia menyerang balik dengan kekuatan penuh—pukulan gelombang waktu yang seharusnya bisa menghancurkan Rania dalam sekali benturan.
Tapi Rania membuka simbol keempat gelangnya.
Dan waktu… berhenti sesaat.
---
Dalam ruang yang membeku itu, Rania berbicara pada versi dirinya sendiri—bukan untuk menghancurkannya, tapi untuk memeluk sisi dirinya yang selama ini ia tolak.
> “Kau adalah aku… yang takut kehilangan. Aku tidak akan mengusirmu. Tapi aku juga tak akan membiarkanmu mengendalikan hidupku.”
Air mata jatuh dari mata Rania. Tapi bukan tangis kelemahan—melainkan penerimaan.
Seketika, tubuh R1N4 mulai retak.
“Kenapa… aku merasa… hangat?” desisnya lemah.
“Karena kau merasakan sesuatu untuk pertama kalinya,” bisik Rania. “Dan itu… membuatmu hidup, bukan hanya sempurna.”
Satu ledakan cahaya muncul.
Dan tubuh R1N4 pecah menjadi partikel cahaya—terbang naik, menyatu dengan akar waktu.
---
Rania tersungkur. Nafasnya terengah. Tapi ia menang.
Dan di tengah ruangan, muncul pintu sihir yang membawanya pulang ke Auralis.
Kael muncul sesaat, berdiri di kejauhan.
“Sekarang kau tahu… siapa dirimu.”
Rania menatapnya, kali ini bukan dengan kebencian, tapi dengan pengertian.
“Aku tahu siapa aku. Tapi kau, Kael… kapan kau akan memilih menjadi dirimu yang sesungguhnya?”
Kael tak menjawab.
Ia hanya berbalik, berjalan menjauh… ditelan kabut waktu.
---
Rania membuka pintu sihir dan melangkah masuk.
Cahaya menyambutnya.
Dan saat ia tiba kembali di istana Auralis…
Arven dan Elvaron menunggu, mata mereka berbinar lega.
Reina tersenyum.
“Selamat datang kembali… Rania.”
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rania menjawab:
> “Ya. Aku kembali. Bukan sebagai versi siapa pun. Tapi sebagai diriku… sepenuhnya.”